Kamis, 31 Januari 2008

Kajian Kristis UU No.41/1999

KAJIAN KRITIS EKSISTENSI HUTAN ADAT DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Ade Saptomo

Pengantar
Saya dengan senang hati menerima undangan rekan-rekan yang memang sudah saya kenal lama, baik dari Huma Jakarta maupun Qbar Padang untuk ikut serta dalam diskusi publik dengan mengkritisi sebuah undang-undang yang sejak kelahirannya telah mengundang perhatian banyak pihak terutama keberadaan hutan adat. Satu pertanyaan penting yang perlu dikemukakan adalah apakah dengan diundangkannya Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya UU 41/1999) sebagai revisi undang-undang sebelumnya, eksistensi hutan adat secara otomatis diakui sebagai ada. Diakui ada secara formal, apakah kemudian dalam kenyataannya ada yang dimaksud benar-benar ada, kalau ada sebagaimana ada yang dimaksud terakhir, lantas apakah sudah eksis, dan masih banyak pertanyaan yang perlu dikemukakan lebih lanjut.
Serangkaian pertanyaan tersebut memungkinkan membawa pikiran pemerhati hukum kehutanan kepada sebuah pemikiran baru bahwa undang-undang dimaksud menjadi diragukan, jangan-jangan pemerintah berlindung dibalik undang-undang dimaksud masih ragu akan keberadaan hutan adat itu antara ada dan tidak ada. Dan, lebih dikhawatirkan lagi jika pemerintah dimulai dengan keraguan tersebut tetapi dengan tidak ragu-ragu mencabut status hutan adat. Sehubungan dengan itu paper ini membahas secara akademis kritis terhadap beberapa pasal-pasal yang telah membunyikan tentang hutan adat, masyarakat adat, berikut penjelasan yang menyertainya. Selain itu tentu saja, disusul kajian makna negara dalam penguasaan hutan adat untuk menentukan eksistensi hutan adat.
Hutan Adat
Untuk mendahului diskusi ini, saya memulai dengan pengertian formal tentang hutan. Hutan disebutkan secara formal dalam Pasal (1) ayat (2) UU 41/1999 bahwa hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ada empat unsur yang terkandung dari definisi hutan tersebut, yaitu:
1. unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut tanah hutan;
2. unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna;
3. unsur lingkungan, dan
4. unsur penetapan pemerintah.
Unsur pertama, kedua, dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan di sini menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), pohon, flora, dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Sementara unsur Penetapan Pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sangat penting, karena dengan adanya Penetapan Pemerintah c.q. Menteri Kehutanan itu kedudukan yuridis hutan menjadi kuat.
Selanjutnya dikatakan bahwa setidak-tidaknya ada dua arti penting yang terkandung di dalam Penetapan Pemerintah tersebut, yaitu: (1) setiap orang menjadi hati-hati dan tidak melakukan tindakan pembabatan, pendudukan, dan atau pengerjaan di kawasan hutan secara sewenang-wenang; (2) sekaligus terkandung pengertian mewajibkan kepada pemerintah c.q. Menteri Kehutanan untuk melakukan perencanaan, penyediaan, pemanfaatan hutan sesuai dengan fungsi hutan. Selain itu, ditentukan empat jenis hutan menurut Pasal (5) sampai dengan Pasal (9) UU 41/1999, yaitu berdasarkan (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus, (4) pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air.
Namun dari keempat jenis hutan ini, dalam konteks hutan adat yang perlu dikemukakan adalah hutan berdasarkan status hutan (lihat matrik di bawah), dimana suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan tersebut (Pasal 5 UU 41/1999). Hutan berdasarkan status hutan dibagi menjadi dua kategori hutan, yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah sebagaimana disebutkan pada Pasal (5) ayat (1) UU 41/1999. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Yang termasuk dalam kualifikasi hutan negara adalah hutan adat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan (selanjutnya kedua kategori disebut terakhir dalam matrik dipandang sebagai hutan bukan adat).
Sementara hutan desa diartikan sebagai hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Hutan kemasyarakatan diartikan sebagai hutan negara yang pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat. Kemudian hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtgemeenschap). Dengan demikian, mendiskusikan eksistensi hutan adat tidak dapat dipisahkan diskusi tentang masyarakat adat.
Matrik di bawah menunjukkan ada kesamaan antara bentuk-bentuk pemanfaatan pada hutan adat maupun pada hutan di luar hutan adat. Hutan adat maupun hutan di luar hutan adat (hutan non adat) memiliki fungsi yang sama yaitu perlindungan, konservasi, dan produksi. Artinya, status hutan adat sebagaimana disebutkan dalam undang-undang kehutanan di atas memberikan sedikit hak-hak baru yang perlu dikukuhkan lagi setidaknya dalam peraturan dibawah undang-undang ini. Selain itu, matrik juga menunjukkan bahwa kawasan hutan dengan tujuan khusus, seperti tujuan keagamaan, kebudayaan, pendidikan, maupun penelitian. Di samping hak-hak yang berkaitan dengan hukum adat dan masyarakat adat, undang-undang tersebut juga memuat ketentuan-ketentuan progresif tentang masyarakat dalam pengelolaan hutan yang dapat mendukung masyarakat adat berikut ini:


Matrik Status Hutan
Status Hutan
Fungsi hutan Hutan Negara Hutan Hak
Hutan bukan adat Hutan adat
Hutan konservasi Hutan dimanfaatkan untuk perlindungan keragaman hayati. Penggunaan lain dimungkinkan kecuali pada cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional (pasal 24) Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya dan hukum (pasal 37) Pemilik dapat memanfaatkan hutan yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi yang sudah ditentukan (pasal 36)
Hutan lindung Hutan lindung dimanfaatkan untuk jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan non kayu (pasal 36) Jika di ubah menjadi hutan negara, pemerintah akan memberi kompensasi kepada pemilik (pasal 36)
Hutan produksi Hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan, kayu dan non kayu (pasal 28) Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (pasal 67) Pemanfaatan hutan dikelola oleh pemiliknya
Masyarakat adat dapat melakukan pemanfaatna yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan fungsinya dan hukum (pasal 37). Jika hasil hutan diperdagangkan, masyarakat adat diharuskan membayar pajak hutan (pasal 37)
Hutan dengan tujuan khusus Hutan dengan tujuna khusus dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan, fungsi keagamaan, atau fungsi budaya (pasal 8) Hutan dengan tujuan khusus tidak harus merupakan hutan adat, tetapi masyarakat adat dapat mengelola hutan dengan tujuan khusus (pasal 34) Tidak ditentukan









Hutan kota Hutan Ini termasuk kawasan publik dalam kota yang ditentukan sebagai hutan oleh pemerintah (pasal 9) Tidak relevan Tidak relevan

1. Penentuan wilayah hutan harus memperhitungkan budaya, ekonomi, dan institusi setempat (termasuk institusi adat)
2. Pengawasan adalah tanggungjawab pemerintah, individu, dan masyarakat.
3. Masyarakat berhak untuk mengetahui tentang pengelolaan hutan dan mengawasinya.
4. Jika masyarakat menderita akibat polusi atau kerusakan hutan yang dapat memperngaruhi kehidupan mereka, lembaga pemerintah yang membawahi bidang kehutanan bertanggung jawab melakukan tindakan untuk kepentingan masyarakat.
5. Organisasi non pemerintah (ornop) dapat mendukung usaha masyarakat setempat dalam reboisasi atau rehabilitasi hutan (bukan dalam pengelolaan hutan).
6. Forum pemerhati hutan yang terdiri atas mitra pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat bekerja untuk merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai bahan masukan kebijakan hutan.
Beberapa bagian dalam undang-undang ini menyatakan bahwa hutan harus dikelola sesuai dengan prinsip keadilan sosial (social equity), pemberdayaan masyarakat adat, keadilan (fairness), kemakmuran (prosperity), dan keberlanjutan (sustainable). Diakui memang bahwa UU 41/1999 ini berpotensi menguatkan hak masyarakat adat atas lahan hutan dengan menciptakan hak yang sah bagi masyarakat pada hutan adat. Masyarakat adat berhak untuk memanfaatkan hutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk mengelola hutan sesuai dengan hukum adat mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. UU 41/1999 ini belum sampai pada tingkat devolusi mengingat negara tetap memegang hegemoni. Hal tampak dalam kenyataan bahwa hampir tidak ada perubahan atas distribusi kendali antara pengelola pusat dan daerah, yang ada adalah pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah.
Walaupun ada penguatan dan perluasan sebagian hak, beberapa bagian yang tidak jelas dalam undang-undang ini dapat menghambat pengalihan wewenang kepada masyarakat adat. Sebagai contoh, siapa yang memiliki prioritas hak pengusahaan atas hutan adat? Hak memanfaatkan pada hutan adat saat ini bukanlah hal yang sangat eksklusif, tetapi ada ketidakamanan mengingat akan berhadapan dua kelompok, dimana kelompok lemah berhadapan dengan kelompok yang lebih kuat. Artinya, hukum rimba akan menjadi kenyataan dimana yang kuat akan menang.
Lain lagi pertanyaan sebagai diajukan oleh Eva Wollenberg dan Hariadi Kartodiharjo, misalnya, penggunaan apa saja yang diinginkan di hutan adat? Jika perladangan gilir balik merupakan sumber mata pencarian utama, sedangkan pembakaran hutan dilarang oleh uu, bagaimana masyarakat adat akan memenuhi kebutuhan mereka? Kemudian, mereka masih menanyakan masuk akalkah untuk mengasumsikan bahwa kelompok-kelompok ini tidak melaksanakan perladangan gilir balik terutama apabila hal tersebut merupakan bagian terpadu dari kegiatan ekonomi dan kebudayaan mereka? Sejauh fungsi dan pemanfaatan yang diijinkan pada hutan adat mencerminkan fungsi dan pemanfaatan yang dibutuhkan oleh masyarakat adat, maka akan semakin memenuhi kebutuhan masyarakat dan memeberi insentif bagi pengelolaan yang baik. Namun pemanduan pemerintah tentang fungsi dan pemanfaatan mencerminkan pendekatan pengelolaan yang amat berbeda dalam gaya dan tujuan dari pendekatan masyarakat adat.
Hutan adat lebih mungkin untuk memiliki campuran tanaman (yang ditanam oleh masyarakat adat) yang lebih banyak dan populasi kehidupan liar yang dimodifikasi sdan dikelola untuk produksi yang lebih beranekaragam. Jika hutan adat dipertahankan sebagai tanah negara, perlu dilakukan adaptasi besar-besaran terhadap rezim pengelolaan di masa lalu untuk mengakomodasi kedua sistem yang amat berbeda ini.


Masyarakat Adat
Kalau saya membayangkan jauh ke belakang, munculnya masyarakat tampak diawali dengan kedatangan orang-perorang atau kelompok orang dalam satu wilayah sama dan dalam kehidupan sehari-hari mereka saling mengakui kelemahan dan kelebihan masing-masing dalam mengakses sumber daya agrarian. Kelebihan satu orang ternyata merupakan kelebihan orang lain, dan sebaliknya sehingga terjadi proses interaksi untuk memenuhi kekurangan oleh kelebihan yang dimiliki orang yang lain. Oleh sebab itu. saat itu pula timbul interaksi yang lambat laun semakin meluas tidak saja variasi kebutuhan tetapi juga jaringan sosialnya semakin luas yang diikuti kelahiran aturan-aturan bersama, dijaga bersama, dan dalam mengakses sumber daya agrarian didasarkan pada aturan bersama dimaksud.
Seiring dengan kemajuan pengetahuan dan pendidikan, aturan dimaksud ditulis menjadi aturan yang terdokumentasi. Artinya, secara historis, dalam konteks hutan misalnya, ada hubungan kesejarahan yang saling mempengaruhi antara masyarakat setempat yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat dan hutan sekelilingnya sebagai salah satu unsur sumber daya hutan secara teratur dan mapan. Hubungan yang terakhir ini kemudian di satu hutan sebagai hutan adat dan di sisi lain masyarakat setempat disebut sebagai masyarakat adat.
Kalau begitu secara sejarah sosial, masyarakat adat menguasai hampir hutan hutan melalui lembaga-lembaga adat. Perjalanan waktu menujukkan bahwa, perjalanan pemerintahan sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda hingga kini mengalalmi pasang surut penguasaan atas hutan adat. Namun, adat pada daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh pemerintah Belanda dianggap sah. Setelah kemerdekaan, Undang-Undang Nomor 5 tahun tentang Pokok-Pokok Agraria mengakui kembali klaim sejarah adat dengan menghormati wilayah adat sebagai lahan milik. Namun ketika rezim orde baru mulai berkuasa dan dengan kebangkitan industri yang menguntungkan di pulau-pulau luar jawa, negara mengklaim hutan adalah miliknya dan praktek adat kehilangan keabsahannya (legitimasinya).
Prinsip-prinsip dan kepentingan negara pada periode tersebut sangatlah berbeda dari periode sekarang, mengingat pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ini berniat mengakui masyarakat adat sebagai salah satu unsur eksistensi hutan adat. Namun ada persyaratan bahwa: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; adat institusi lokal yang menangani hukum adatnya; ada wilayah yang diatur oleh hukum adat; ada pranata dan perangkat hukum yang sah dan keputusannya dipatuhi. Dengan demikian, sebenarnya undang-undang ini telah bermakna statis, rigid, pasif, dan tidak dapat dikategorikan sebagai aturan yang responsif terhadap social needs, mengingat tidak merespon kekhawatiran yang sejak lama terbenam dalam-dalam dari masyarakat adat tentang hak mereka atas daerah leluhur dan warisan budaya terhadap hutan adat.
Dengan demikian pula, undang-undang ini berada disimpang jalan mengingat di satu sisi undang-undang ini pantas mendapat penghargaan atas usahanya mempelopori devolusi penguasaan lahan hutan adat kepada masyarakat, di sisi lain undang-undang tersebut juga memberikan beberapa jalan pada pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya. Siapa yang sesungguhnya membuat keputusan mengenai pengelolaan hutan akan sangat tergantung pada bagaimana undang-undang ini dilaksanakan. Ada satu langkah yang lebih memberi harapan mengingat undang-undang dimaksud menyinggung hutan adat, masyarakat adat denan seperangkt haknya namun hak tersebut tidak memberikan mereka penguasaan yang aman (secure tenure).
Memang jika disimak sekilas dari persyaratan tersebut tergambar bahwa UU Kehutanan ini seolah-olah memperkuat (a) hak masyarakat untuk menggunakan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan (b) hak masyarakat untuk menjalankan aktifitas pengelolaan hutan sesuai dengan peraturan adat (sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan nasional). Ketentuan ini satu tingkat lebih maju mengingat hak-hak yang sama selama ini diberikan kepada masyarakat adat melaui surat keputusan misalnya, SK 251/1993 memberikan hak untuk menggunakan hasil hutan kayu dan non kayu untuk konsumsi yang sudah tentu memiliki kekuatan formal lemah. Namun, pertanyaannya apakah masyarakat setempat mengetahui adanya hak-hak tersebut.
Meskipun telah ada dalam undang-undang, hak atas hutan adat dimaksud tidak otomatis ada, adanya tergantung pada keaktifan masyarakat itu sendiri dalam mengelola hutan adat. Dengan kata lain, pemimpin adat dalam banyak masyarakat harus berjuang untuk mengklarifikasi identitas mereka pada pemerintah untuk meyakinkan legitimasi mereka di antara berbagai konstituen. Banyak pemimpin adat juga bertindak sebagai kepala dalam pemerintah desa. Pemimpin adat lainnya ditunjuk untuk duduk di dalam struktur pemerintahan yang telah ada yang hanya sedikit sekali kaitannya atau tidak berkaitan sama sekali dengan kepemimpinan adat tradisional. Warga masyarakat biasanya menyesalkan kondisi ini dan akibatnya tidak merasa terlalu yakin kepentingan siapa yang diwakili oleh pemimpin mereka.
Makna Negara Dalam Penguasaan Hutan Negara
Kemudian makna negara sebagaimana yang tertulis dalam definisi ‘hutan adat’ menurut undang-undang ini bahwa hukum adat didefinisikan sebagai hutan negara yang berada di dalam wilayah sebuah masyarakat adat. Meskipun penciptaan konsep hutan adat merupakan inovasi paling penting dari UU ini, namun jangan lupa bahwa ketika melafaskan negara maka maknanya adalah tiga pilar utama terselimuti, pertama, pemerintah dengan perangkat politik dan hukumnya; kedua, rakyat berikut perangkat satuan-satuan sosial-budayanya; dan ketiga, teritorial berikut sekalian sumber daya alam yang dikandungnya.
Hal itu menjadi catatan penting mengingat negara tidak akan berdiri tanpa adanya salah satu pilar sehingga menurut pandangan saya tiga pilar utama itu memiliki posisi sejajar saling terkait dan tidak amat dibenarkan salah satu pihak menhancurkan pilar yang lain karena bangunan negara akan runtuh. Artinya, pemerintah sebagai salah satu pilar tidak dibenarkan mengatur rakyat sebagai pilar lain dengan tanpa tujuan jelas dan tidak menghargai keberadaan satuan sosial-budaya yang melekat dimaksud. Demikian pula tidak bisa merusak ekosistem sumber daya alam sebagai pilar yang lain yang ada dalam teritorial tersebut. Dengan kata lain, ketiga pilar harus berdiri tegak, senasib dan sepenanggungan dengan pilar lain.
Memang ada inovasi, tetapi tetap saja UU ini dipahami secara formal bahwa negara diartikan sebagai institusi pemerintah yang dianggap menguasai kendali strategis atas hutan adat. Upaya tetap mengusasai kendali strategis dimaksud, setidak-tidaknya adalah pertama, UU ini menggolongkan hutan adat sebagai hutan negara. Penjelasan yang menyertai UU tersebut menjelaskan bahwa lahan hutan negara adalah lahan hutan yang sebelumnya tidak dibebani hak-hak atas tanah, seperti yang ditentukan dalam Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Kedua, ketika disebutkan bahwa …sepanjang masih ada, maka sebenarnya UU Kehutanan ini memberi pemerintah (bukan negara) sebuah kekuasaan untuk mengakui sekaligus mencabut status “masyarakat adat”. Ini berarti akan berimplikasi pada pencabutan status hutan adat. Kekuasaan ini diberikan pada pemerintah daerah melalui peraturan daerah yang masih harus ditetapkan dan sesuai dengan kriteria yang ditentukan pemerintah nasional.
Ketiga, undang-undang ini menyatakan bahwa hak masyarakat adat akan diberikan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan hukum seperti ini pada masa lampau telah ditetapkan untuk membatasi klaim masyarakat adat. Keempat, dengan definisi hutan adat yang sekarang dapat diinterpretasi bahwa negara boleh mengklaim hutan adat dimanapun letaknya termasuk di lahan pribadi (Kartodihardjo,1999). Jika seluruh hutan adat dijadikan hutan negara, undang-undang ini dapat menciptakan insentif terbalik bagi masyarakat adat untuk menebang hutan pada lahan mereka untuk menghindari status hutan negara dan tetap mengendalikannya. Kelima, undang-undang baru ini menempatkan beban pembuktian pada masyarakat adat bila mereka mengajukan hak adat. Undang-undang tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa penguasa negara atas lahan hutan adalah sah, namun dasar pemikiran ini dipertanyakan oleh masyarakat adat yang merasa mereka masih memiliki klaim sejarah terhadap lahan mereka sebagaimana pernah disebut oleh Florus dkk.(1994).
Kesimpulan
Untuk mendudukkan eksistensi Hutan Adat, secara akademis saya menggungakan konsep kebudayaan bahwa untuk mengatakan hutan adat itu eksis atau eksistensi hukum adat, maka hutan adat harus memenuhi tiga tataran isi kebudayaan dimaksud, yaitu, kebudayaan dalam tataran ideologi, tindakan, dan hasil tindakan. Jika hal ini yang digunakan maka ketentuan hutan adat yang disebutkan dalam undang-undang itu baru sebatas hutan adat dalam tataran ideologi mengingat dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersifat abstrak, namun belum kelihatan aksi ideologi yang berkaitan dengan hutan adat. Sementara aksi ideologi dibutuhkan peraturan pemerintah yang mengaturnya namun sampai sekarang belum kelihatan, baru kemudian diikuti peraturan daerah masing-masing.
Hal itu untuk menghantarkan hutan adat ada dalam tataran aksi, selain itu kehadiran masyarakat adat menjadi penting mengingat masyarakat adat sekitar memiliki hubungan kesejarahan lama, dan tentu apa aktivitas masyarakat adat terhadap hutan adat yang ada di sekitarnya, dan kemudian baru dilihat dari hasil tindakan itu untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat setempat sekaligus dapat digunakan untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk mengelolan hutan adatnya. Serangkaian aturan dari atas ke bawah yang linkmacth itu yang masih belum tampak sehingga hutan adat hanya ada dalam tataran ideologi.
Mungkin muncul pertanyaan, apa sarannya? Paradigmanya adalah negara berpilar pada rakyat, teritorial, dan pemerintah. Dengan demikian sarannya yang muncul adalah tentu pemerintah dituntut aktif merevitalisasi dan menfasilitasi masyarakat adat sebagai sarat utama hadirnya eksistensi hutan adat. Ini menjadi penting mengingat pemerintah jualah yang telah sekian lama memberi ruang gerak kelompok modal untuk mengeksploitasi hutan tanpa memperhatikan secara serius keberadaan masyakaratkat adat, dan saat itu melalui perundang-undangan masyarakat adat kian lama kian terkubur fungsinya sehingga ia tidak dapat bergerak untuk mengakses hutan adat. Untuk itu, pemerintah harus responsif untuk memberdayakan masyarakat untuk mengaktualisasikan Ayat (3) Pasal (33) UUD 1945 bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Kepustakaan

Fay dkk.(2000). Getting the boundaries right: Indonesia’s urgent need to redefine its forest estate. Makalah yang disampaikan pada 8th Conference of the International Association for the Study of Common Property. Mei 2000, Bloomington, Indian, USA.

Florus dkk.(1994). Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, Indonesia: LP3ES-Institute of Dayakology Research and Development dan PT Gramedia Widiasrana.

Kartodihardjo (1999)..Analisa substansi UU Kehutanan. Disampaikan pada forum komunikasi Kehutanan Masyarakat Listserv. 17 September.

Leach dan Fairheat (1993).Whose social forestry and why? People, saic. Zeitschrift fur Wirstschaftgeographin 37 (2): 86-101.

Patlis. M.Jason (2005).”New Legal Initiatives for Natural Resources Management in a Changing Indonesia: The Promise, the Fear and the Unknown” dalam The Politics and Economics of Indonesia”s natural Resources (budy P. Resosudarmo, editor). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Salim H.S (2003). Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika

Saptomo, ade (2006). “Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam” dalam Tanah Masih Di Langit Jakarta: Yayasan Kemala.

Wollenberg, Eva dan Hariadi Kartodiharjo (2003). “Devolusi dan Undang-undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia (Ida Ayu Pradnya Resosudarmomo, Carol J. Pierce J: penyunting) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 98-114.

Tidak ada komentar: