Kamis, 31 Januari 2008

Negara Hukum, Proyek yang Belum Selesai

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Negara Indonesia lahir sebagai suatu negara baru di tengah-tengah masyarakat negara-negara di dunia. Kecuali pengumuman tentang bentuk negara, yaitu republik, Indonesia juga menyatakan diri sebagai negara berdasar hukum (negara hukum).

LEBIH dari setengah abad kemudian, Negara Republik Indonesia masih harus bergulat dengan berbagai masalah mendasar yang timbul sebagai akibatnya. Eksistensi Republik Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata masih harus terus dibina dan dipertahankan. Selain itu, pembangunan negara hukum ternyata belum juga kunjung selesai dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai negara dengan sistem hukum sangat buruk. Yang dimaksud dengan pembangunan yang belum kunjung selesai di sini adalah bagaimana menjadikan negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah yang menyenangkan, menyejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia.


Menjadi Pahlawan

Kita boleh risau, tetapi tidak perlu terlalu cemas mengenai keadaan itu, terutama bila kita memproyeksikan Indonesia pada latar belakang sejarah negara-negara di dunia. Banyak negara yang kini disebut maju, kampiun demokrasi, pendekar Hak Asasi Manusia (HAM), dulu lebih dikenal sebagai penjajah, perampok, dan penindas HAM. Belanda yang menjajah Indonesia pernah tercabik-cabik dan kelelahan karena mengalami perang berkepanjangan di dalam negerinya.

Begitu terkurasnya Belanda sehingga harus memeras negeri jajahannya dengan mengintroduksi sistem tanam-paksa (kultuur stelsel) di Indonesia, supaya bisa tetap hidup (survive). Bagaimana tidak? Hanya karena pemaksaan terhadap petani di Jawa untuk menanam tanaman tertentu dan pengurasan hasil pertanian itu, Belanda bisa berjaya kembali. Pelabuhan Rotterdam tidak jadi ambruk, pajak-pajak diturunkan dan pendidikan berhasil diperluas. Benar sekali ujaran di Belanda waktu itu, "Indonesia adalah gabus yang di atasnya Belanda mengapung," sehingga "kehilangan Indonesia berarti keambrukan bagi negeri Belanda" (Indie verloren rampspoed geboren).

Perancis harus memenggal kepala seorang rajanya dan menjebol penjara Bastille, sebelum menjadi negara konstitusional. Amerika Serikat juga harus mengalami perang dengan sesama saudaranya sebelum berjaya sebagai suatu negara besar dan kuat. Sejarah adalah proses yang unik, di mana negara-negara yang dahulu adalah perampok, penindas, dan melakukan pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) sekarang menepuk dada sebagai pahlawan dan kampiun HAM.

Potret negara hukum Indonesia sekarang memang buruk, negara terancam perpecahan. Tetapi, itu bukan berarti akhir dari segalanya sebab kita melakukan perlawanan dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik dan kuat. Masa sekarang ini adalah bagian dari sejarah yang sedang kita tulis.


Proyek

Kalau pada 17 Agustus 1945 kita memproklamasikan kelahiran Negara Hukum Republik Indonesia, maka yang ada dalam pikiran kita waktu itu adalah, sejak hari pertama itu kita sudah menjadi negara hukum secara "tuntas sempurna". Ini bagus, namun terlalu bagus sehingga sebetulnya kita bermimpi. Secara formal memang begitu, tetapi substansial perjalanan masih jauh. Membangun negara hukum adalah proyek yang amat besar.

Memang sejak dijajah Belanda, kita sebetulnya sudah hidup dalam suatu negara hukum, hanya waktu itu kita belum memiliki pengalaman sendiri. Menjadi penduduk suatu negara hukum, waktu itu, kita masih harus dipaksa, disuruh, dan diperintah. Waktu itu kita lebih adalah sebagai bangsa yang dijajah daripada secara mandiri menyadari sebagai bangsa yang bernegara hukum. Maka sejak 1945 kita "mendadak" memiliki pengalaman yang baru, yaitu menjadi bangsa dari suatu negara hukum secara mandiri. Hal ini penting untuk direnungkan sebagai modal membangun bangsa dari suatu negara hukum.

Negara hukum tidak instan, tetapi harus dibangun. Negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi "barang impor". Proses menjadi negara hukum bukan merupakan bagian dari sejarah sosial-politik bangsa kita di masa lalu, seperti terjadi di Eropa. Negara hukum adalah bangunan yang "dipaksakan dari luar" (imposed from outside). Dengan demikian, membangun negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum, membangun suatu peradaban baru. Ia adalah proyek raksasa.


Keambrukan

Mengamati sejarah kelahiran negara hukum di dunia adalah membaca cerita tentang keambrukan dari suatu sistem sosial satu ke yang lain. Eropa, sebagai ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional.
Berdasarkan pengamatan sejarah, janganlah kita beranggapan, membangun negara hukum ibarat menancapkan sebuah papan nama dan sim-salabim negara hukum pun selesai dibangun. Juga tidak sama dengan bercocok undang-undang, bertanam pengadilan, dan seterusnya.

Eropa harus mengalami keambrukan sistem sosial yang satu disusul keambrukan berikutnya, dari feodalisme, Staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Masing-masing keambrukan itu memberi jalan kepada lahirnya negara hukum modern. Kita juga dapat membacanya sebagai keambrukan suatu perilaku untuk digantikan perilaku baru. Tetapi, "sejarah keambrukan" bukan menjadi milik Indonesia karena untuk menjadi negara hukum Indonesia tidak memerlukan proses keambrukan. Indonesia "dipaksa" untuk menjadi negara hukum instan melalui transformasi dan transplantasi. Mungkin ia melompat dari feodalisme langsung menjadi negara hukum modern. Maka, barang tentu banyak persoalan besar muncul dari situ. Soekarno benar waktu mengatakan, kita mengalami many revolutions in one generation.


Perubahan perilaku

Menjadi negara hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur. Hukum dan negara hukum modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa berhasil dengan baik, yang di Eropa membutuhkan waktu sekitar seribu tahun.

Salah satu persyaratan menonjol adalah ambruknya tatanan kolektif dan personal, untuk digantikan tatanan rasional dan impersonal. Jadi, secara berseloroh kita bisa mengatakan, semakin terasing (alienated) manusia satu sama lain, semakin hukum (modern) itu bisa berperan dengan baik. Berbagai penelitian memang meyakinkan hal tersebut, yaitu semakin urban dan individual suatu masyarakat, semakin hukum dibutuhkan. Sebaliknya masyarakat dengan kehidupan kolektif dan solidaritas sosial tinggi, justru kurang memerlukan hukum. Karena itu, di Eropa feodalisme dan lain-lain harus ambruk lebih dahulu untuk memberi jalan terciptanya kehidupan urban, individual, sebelum hukum modern bisa muncul (Belanda membutuhkan seratus tahun untuk menyelesaikan revolusi agrarianya). Pelajaran yang amat berharga di sini adalah, hukum modern ternyata memiliki kosmologinya sendiri.

Di Indonesia (dan banyak negara di Asia Timur) perkembangan yang terjadi cukup "kacau", dalam arti tidak berlangsung setapak demi setapak, seperti di Eropa. Untuk memberi penekanan terhadap proses yang kompleks itu, kata-kata Soekarno di atas benar sekali. Untuk mengurangi kekacauan dan tekanan terhadap sistem sosialnya yang asli, Jepang yang sudah mapan, banyak membuat Japanese twists (bengkokan, gaya Jepang) untuk bisa menyesuaikan hukum modern yang rasional-impersonal itu kepada masyarakat Jepang yang pada dasarnya bersifat kolektif. Kosmologi Jepang tidak bisa mencerna begitu saja hukum modern yang memiliki kosmologi berbeda itu.


Hidup Primitif

Kolom surat kabar ini tidak mampu memberi tempat untuk menulis secara lengkap tentang masalah yang seharusnya dibicarakan di sini. Karena itu, pembicaraan ingin dipotong dan dipusatkan pada satu aspek dari kehidupan bernegara hukum itu, yaitu perundang-undangan atau bagaimana kita hidup dengan undang-undang.

Hidup dengan undang-undang adalah pengalaman baru, oleh karena kita biasa hidup dengan norma sosial yang berbeda daripada sifat dan watak undang-undang modern. Bali adalah contoh yang bagus sekali tentang bagaimana suatu komunitas berusaha mempertahankan tatanan sosial yang asli dengan "menawar" keberlakuan hukum dan undang-undang modern.

Bila kita sudah membuat undang-undang secara modern dan kemudian melaksanakannya, selesaikah tugas kita mendirikan republik dan negara hukum ini? Apakah kalau kita sudah bisa menunjuk ke pasal ini dan pasal itu dari hukum berarti kita sudah selesai dengan pekerjaan kita? Apakah kalau kita sudah pintar melafalkan asas dan doktrin hukum, kita sudah menjadi bangsa modern yang tahu hukum? Bila jawaban adalah ya, maka itulah yang di sini disebut menjalankan hukum secara primitif.]

Terus terang ingin dikatakan di sini, selama ini kita hidup dengan undang-undang secara terlalu primitif. Ini tampak dalam banyak proses hukum selama ini yang hanya berpegang pada kulit undang-undang, prosedur, asas, doktrin, dan lain kelengkapan hukum. Korupsi menjadi sulit diberantas dengan hukum, kemungkinan besar disebabkan oleh praktik menjalankan hukum seperti itu. Secara umum kita belum bisa menjalankan hukum secara cerdas. Hukum tidak dijalankan secara (lebih) bermakna. Hukum masih lebih sering dijalankan secara primitif.


Menyenangkan

Satu hal yang selama ini amat mengganjal adalah betapa banyak ketidaknyamanan, kesulitan, hambatan, kepedihan yang justru bisa dihubungkan dengan negara hukum sebagai rumah bangsa kita. Apakah keadaan harus seperti itu? Apakah negara hukum dipilih untuk menciptakan kualitas kehidupan seperti itu? Apakah hukum untuk mempersulit kehidupan? Menghambat rakyat yang ingin hidup sejahtera? Untuk menjauhkan bangsa ini dari keadilan? Untuk menyenangkan dan melindungi penjahat dan mengecewakan rakyat?

Sudah lebih dari lima puluh tahun kita bernegara hukum dan pertanyaan yang mengganjal itu malah terasa makin merebak. Saat memperingati kemerdekaan sebagai momentum perenungan ini, sebaiknya kita membalik dan mengubah pandangan kita secara mendasar mengenai hakikat kehidupan bernegara hukum. Inilah saatnya untuk mengubah pandangan kita, bahwa negara hukum itu dipilih karena mampu menjadi kendaraan bangsa menuju kepada kesejahteraan dan kebahagiaan.
Insya Allah dengan entry point itu, seluruh tubuh bangsa ini pelan-pelan akan bergerak ke arah perubahan yang menggembirakan. Seluruh tubuh bangsa ini! Terutama mulai dari para pejabat hukum dan pelaku-pelaku utama, seperti hakim, jaksa, advokat, polisi, presiden, dan birokrasi pada umumnya.


Membangun Perspektif

Suasana memperingati Hari Kemerdekaan adalah saat yang tepat sekali untuk merenungkan cara-cara kita menjalankan hukum selama ini. Dalam konteks tulisan ini kita ingin mengubah cara-cara primitif dalam bernegara hukum menjadi cara yang lebih cerdas, bermakna, dan berbudaya.

Cara menjalankan hukum yang di sini disebut primitif itu telah memakan banyak korban. Gagasan bernegara hukum, menjalankan hukum, janganlah direduksi dan dipersempit menjadi praktik menjalankan undang-undang secara hitam-putih atau menurut kalimat dan pasal undang-undang belaka. Negara hukum juga jangan direduksi menjadi negara prosedur hukum. Ini yang membuat kita menjadi tidak sejahtera dan bahagia hidup dalam negara hukum. Lalu salahkah menjalankan undang-undang sebagai dokumen yang telah dituliskan? Tidak, bukan itu maksud tulisan ini. Yang dimaksud adalah menjalankan undang-undang secara tidak primitif, tetapi cerdas dan bermakna.
Dengan perspektif seperti diuraikan di atas kita berharap, pendirian negara hukum bukan hanya papan nama, tetapi benar-benar menjadi rumah yang membuat penghuninya bahagia. Dengan demikian, kita bersedia menerima dan mengakui, negara hukum adalah suatu proyek besar dan karena itu memakan waktu lama dan pengerahan energi yang besar pula.


Menjalankan negara hukum janganlah dianggap sebagai rutinitas menjalankan undang-undang belaka. Ia adalah kerja besar yang selain menguras energi, juga membutuhkan komitmen, dedikasi, empati, serta perilaku inovatif dan kreatif. Mungkin cara visioner boleh ditambahkan di sini. Jika diperlukan demi kebahagiaan bangsa kita, dibikinlah teori sendiri, diciptakan asas dan doktrin yang sesuai dengan kebutuhan bangsa sendiri. Itu berarti, di atas segalanya kita perlu menegaskan suatu cara pandang, bahwa negara hukum itu adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya. Hukum tidak boleh menjadikan kehidupan lebih sulit. Inilah yang sebaiknya menjadi ukuran penampilan dan keberhasilan (standard of performance and result) negara hukum Indonesia.

Tidak ada komentar: