Kamis, 31 Januari 2008

Kajian Kristis UU No.41/1999

KAJIAN KRITIS EKSISTENSI HUTAN ADAT DALAM
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

Ade Saptomo

Pengantar
Saya dengan senang hati menerima undangan rekan-rekan yang memang sudah saya kenal lama, baik dari Huma Jakarta maupun Qbar Padang untuk ikut serta dalam diskusi publik dengan mengkritisi sebuah undang-undang yang sejak kelahirannya telah mengundang perhatian banyak pihak terutama keberadaan hutan adat. Satu pertanyaan penting yang perlu dikemukakan adalah apakah dengan diundangkannya Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya UU 41/1999) sebagai revisi undang-undang sebelumnya, eksistensi hutan adat secara otomatis diakui sebagai ada. Diakui ada secara formal, apakah kemudian dalam kenyataannya ada yang dimaksud benar-benar ada, kalau ada sebagaimana ada yang dimaksud terakhir, lantas apakah sudah eksis, dan masih banyak pertanyaan yang perlu dikemukakan lebih lanjut.
Serangkaian pertanyaan tersebut memungkinkan membawa pikiran pemerhati hukum kehutanan kepada sebuah pemikiran baru bahwa undang-undang dimaksud menjadi diragukan, jangan-jangan pemerintah berlindung dibalik undang-undang dimaksud masih ragu akan keberadaan hutan adat itu antara ada dan tidak ada. Dan, lebih dikhawatirkan lagi jika pemerintah dimulai dengan keraguan tersebut tetapi dengan tidak ragu-ragu mencabut status hutan adat. Sehubungan dengan itu paper ini membahas secara akademis kritis terhadap beberapa pasal-pasal yang telah membunyikan tentang hutan adat, masyarakat adat, berikut penjelasan yang menyertainya. Selain itu tentu saja, disusul kajian makna negara dalam penguasaan hutan adat untuk menentukan eksistensi hutan adat.
Hutan Adat
Untuk mendahului diskusi ini, saya memulai dengan pengertian formal tentang hutan. Hutan disebutkan secara formal dalam Pasal (1) ayat (2) UU 41/1999 bahwa hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Ada empat unsur yang terkandung dari definisi hutan tersebut, yaitu:
1. unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut tanah hutan;
2. unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna;
3. unsur lingkungan, dan
4. unsur penetapan pemerintah.
Unsur pertama, kedua, dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan di sini menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), pohon, flora, dan fauna, beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Sementara unsur Penetapan Pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sangat penting, karena dengan adanya Penetapan Pemerintah c.q. Menteri Kehutanan itu kedudukan yuridis hutan menjadi kuat.
Selanjutnya dikatakan bahwa setidak-tidaknya ada dua arti penting yang terkandung di dalam Penetapan Pemerintah tersebut, yaitu: (1) setiap orang menjadi hati-hati dan tidak melakukan tindakan pembabatan, pendudukan, dan atau pengerjaan di kawasan hutan secara sewenang-wenang; (2) sekaligus terkandung pengertian mewajibkan kepada pemerintah c.q. Menteri Kehutanan untuk melakukan perencanaan, penyediaan, pemanfaatan hutan sesuai dengan fungsi hutan. Selain itu, ditentukan empat jenis hutan menurut Pasal (5) sampai dengan Pasal (9) UU 41/1999, yaitu berdasarkan (1) statusnya, (2) fungsinya, (3) tujuan khusus, (4) pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan air.
Namun dari keempat jenis hutan ini, dalam konteks hutan adat yang perlu dikemukakan adalah hutan berdasarkan status hutan (lihat matrik di bawah), dimana suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan terhadap hutan tersebut (Pasal 5 UU 41/1999). Hutan berdasarkan status hutan dibagi menjadi dua kategori hutan, yaitu hutan negara dan hutan hak. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah sebagaimana disebutkan pada Pasal (5) ayat (1) UU 41/1999. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Yang termasuk dalam kualifikasi hutan negara adalah hutan adat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan (selanjutnya kedua kategori disebut terakhir dalam matrik dipandang sebagai hutan bukan adat).
Sementara hutan desa diartikan sebagai hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Hutan kemasyarakatan diartikan sebagai hutan negara yang pemanfaatannya untuk memberdayakan masyarakat. Kemudian hutan adat adalah hutan negara yang diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtgemeenschap). Dengan demikian, mendiskusikan eksistensi hutan adat tidak dapat dipisahkan diskusi tentang masyarakat adat.
Matrik di bawah menunjukkan ada kesamaan antara bentuk-bentuk pemanfaatan pada hutan adat maupun pada hutan di luar hutan adat. Hutan adat maupun hutan di luar hutan adat (hutan non adat) memiliki fungsi yang sama yaitu perlindungan, konservasi, dan produksi. Artinya, status hutan adat sebagaimana disebutkan dalam undang-undang kehutanan di atas memberikan sedikit hak-hak baru yang perlu dikukuhkan lagi setidaknya dalam peraturan dibawah undang-undang ini. Selain itu, matrik juga menunjukkan bahwa kawasan hutan dengan tujuan khusus, seperti tujuan keagamaan, kebudayaan, pendidikan, maupun penelitian. Di samping hak-hak yang berkaitan dengan hukum adat dan masyarakat adat, undang-undang tersebut juga memuat ketentuan-ketentuan progresif tentang masyarakat dalam pengelolaan hutan yang dapat mendukung masyarakat adat berikut ini:


Matrik Status Hutan
Status Hutan
Fungsi hutan Hutan Negara Hutan Hak
Hutan bukan adat Hutan adat
Hutan konservasi Hutan dimanfaatkan untuk perlindungan keragaman hayati. Penggunaan lain dimungkinkan kecuali pada cagar alam, zona inti, dan zona rimba pada taman nasional (pasal 24) Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya dan hukum (pasal 37) Pemilik dapat memanfaatkan hutan yang tujuannya untuk perlindungan dan konservasi sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi yang sudah ditentukan (pasal 36)
Hutan lindung Hutan lindung dimanfaatkan untuk jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan non kayu (pasal 36) Jika di ubah menjadi hutan negara, pemerintah akan memberi kompensasi kepada pemilik (pasal 36)
Hutan produksi Hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan, kayu dan non kayu (pasal 28) Masyarakat adat dapat memanfaatkan hutan adat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (pasal 67) Pemanfaatan hutan dikelola oleh pemiliknya
Masyarakat adat dapat melakukan pemanfaatna yang lain sepanjang tidak bertentangan dengan fungsinya dan hukum (pasal 37). Jika hasil hutan diperdagangkan, masyarakat adat diharuskan membayar pajak hutan (pasal 37)
Hutan dengan tujuan khusus Hutan dengan tujuna khusus dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan, fungsi keagamaan, atau fungsi budaya (pasal 8) Hutan dengan tujuan khusus tidak harus merupakan hutan adat, tetapi masyarakat adat dapat mengelola hutan dengan tujuan khusus (pasal 34) Tidak ditentukan









Hutan kota Hutan Ini termasuk kawasan publik dalam kota yang ditentukan sebagai hutan oleh pemerintah (pasal 9) Tidak relevan Tidak relevan

1. Penentuan wilayah hutan harus memperhitungkan budaya, ekonomi, dan institusi setempat (termasuk institusi adat)
2. Pengawasan adalah tanggungjawab pemerintah, individu, dan masyarakat.
3. Masyarakat berhak untuk mengetahui tentang pengelolaan hutan dan mengawasinya.
4. Jika masyarakat menderita akibat polusi atau kerusakan hutan yang dapat memperngaruhi kehidupan mereka, lembaga pemerintah yang membawahi bidang kehutanan bertanggung jawab melakukan tindakan untuk kepentingan masyarakat.
5. Organisasi non pemerintah (ornop) dapat mendukung usaha masyarakat setempat dalam reboisasi atau rehabilitasi hutan (bukan dalam pengelolaan hutan).
6. Forum pemerhati hutan yang terdiri atas mitra pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat bekerja untuk merumuskan dan mengelola persepsi, aspirasi, dan inovasi masyarakat sebagai bahan masukan kebijakan hutan.
Beberapa bagian dalam undang-undang ini menyatakan bahwa hutan harus dikelola sesuai dengan prinsip keadilan sosial (social equity), pemberdayaan masyarakat adat, keadilan (fairness), kemakmuran (prosperity), dan keberlanjutan (sustainable). Diakui memang bahwa UU 41/1999 ini berpotensi menguatkan hak masyarakat adat atas lahan hutan dengan menciptakan hak yang sah bagi masyarakat pada hutan adat. Masyarakat adat berhak untuk memanfaatkan hutan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk mengelola hutan sesuai dengan hukum adat mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. UU 41/1999 ini belum sampai pada tingkat devolusi mengingat negara tetap memegang hegemoni. Hal tampak dalam kenyataan bahwa hampir tidak ada perubahan atas distribusi kendali antara pengelola pusat dan daerah, yang ada adalah pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah.
Walaupun ada penguatan dan perluasan sebagian hak, beberapa bagian yang tidak jelas dalam undang-undang ini dapat menghambat pengalihan wewenang kepada masyarakat adat. Sebagai contoh, siapa yang memiliki prioritas hak pengusahaan atas hutan adat? Hak memanfaatkan pada hutan adat saat ini bukanlah hal yang sangat eksklusif, tetapi ada ketidakamanan mengingat akan berhadapan dua kelompok, dimana kelompok lemah berhadapan dengan kelompok yang lebih kuat. Artinya, hukum rimba akan menjadi kenyataan dimana yang kuat akan menang.
Lain lagi pertanyaan sebagai diajukan oleh Eva Wollenberg dan Hariadi Kartodiharjo, misalnya, penggunaan apa saja yang diinginkan di hutan adat? Jika perladangan gilir balik merupakan sumber mata pencarian utama, sedangkan pembakaran hutan dilarang oleh uu, bagaimana masyarakat adat akan memenuhi kebutuhan mereka? Kemudian, mereka masih menanyakan masuk akalkah untuk mengasumsikan bahwa kelompok-kelompok ini tidak melaksanakan perladangan gilir balik terutama apabila hal tersebut merupakan bagian terpadu dari kegiatan ekonomi dan kebudayaan mereka? Sejauh fungsi dan pemanfaatan yang diijinkan pada hutan adat mencerminkan fungsi dan pemanfaatan yang dibutuhkan oleh masyarakat adat, maka akan semakin memenuhi kebutuhan masyarakat dan memeberi insentif bagi pengelolaan yang baik. Namun pemanduan pemerintah tentang fungsi dan pemanfaatan mencerminkan pendekatan pengelolaan yang amat berbeda dalam gaya dan tujuan dari pendekatan masyarakat adat.
Hutan adat lebih mungkin untuk memiliki campuran tanaman (yang ditanam oleh masyarakat adat) yang lebih banyak dan populasi kehidupan liar yang dimodifikasi sdan dikelola untuk produksi yang lebih beranekaragam. Jika hutan adat dipertahankan sebagai tanah negara, perlu dilakukan adaptasi besar-besaran terhadap rezim pengelolaan di masa lalu untuk mengakomodasi kedua sistem yang amat berbeda ini.


Masyarakat Adat
Kalau saya membayangkan jauh ke belakang, munculnya masyarakat tampak diawali dengan kedatangan orang-perorang atau kelompok orang dalam satu wilayah sama dan dalam kehidupan sehari-hari mereka saling mengakui kelemahan dan kelebihan masing-masing dalam mengakses sumber daya agrarian. Kelebihan satu orang ternyata merupakan kelebihan orang lain, dan sebaliknya sehingga terjadi proses interaksi untuk memenuhi kekurangan oleh kelebihan yang dimiliki orang yang lain. Oleh sebab itu. saat itu pula timbul interaksi yang lambat laun semakin meluas tidak saja variasi kebutuhan tetapi juga jaringan sosialnya semakin luas yang diikuti kelahiran aturan-aturan bersama, dijaga bersama, dan dalam mengakses sumber daya agrarian didasarkan pada aturan bersama dimaksud.
Seiring dengan kemajuan pengetahuan dan pendidikan, aturan dimaksud ditulis menjadi aturan yang terdokumentasi. Artinya, secara historis, dalam konteks hutan misalnya, ada hubungan kesejarahan yang saling mempengaruhi antara masyarakat setempat yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat dan hutan sekelilingnya sebagai salah satu unsur sumber daya hutan secara teratur dan mapan. Hubungan yang terakhir ini kemudian di satu hutan sebagai hutan adat dan di sisi lain masyarakat setempat disebut sebagai masyarakat adat.
Kalau begitu secara sejarah sosial, masyarakat adat menguasai hampir hutan hutan melalui lembaga-lembaga adat. Perjalanan waktu menujukkan bahwa, perjalanan pemerintahan sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda hingga kini mengalalmi pasang surut penguasaan atas hutan adat. Namun, adat pada daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh pemerintah Belanda dianggap sah. Setelah kemerdekaan, Undang-Undang Nomor 5 tahun tentang Pokok-Pokok Agraria mengakui kembali klaim sejarah adat dengan menghormati wilayah adat sebagai lahan milik. Namun ketika rezim orde baru mulai berkuasa dan dengan kebangkitan industri yang menguntungkan di pulau-pulau luar jawa, negara mengklaim hutan adalah miliknya dan praktek adat kehilangan keabsahannya (legitimasinya).
Prinsip-prinsip dan kepentingan negara pada periode tersebut sangatlah berbeda dari periode sekarang, mengingat pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ini berniat mengakui masyarakat adat sebagai salah satu unsur eksistensi hutan adat. Namun ada persyaratan bahwa: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; adat institusi lokal yang menangani hukum adatnya; ada wilayah yang diatur oleh hukum adat; ada pranata dan perangkat hukum yang sah dan keputusannya dipatuhi. Dengan demikian, sebenarnya undang-undang ini telah bermakna statis, rigid, pasif, dan tidak dapat dikategorikan sebagai aturan yang responsif terhadap social needs, mengingat tidak merespon kekhawatiran yang sejak lama terbenam dalam-dalam dari masyarakat adat tentang hak mereka atas daerah leluhur dan warisan budaya terhadap hutan adat.
Dengan demikian pula, undang-undang ini berada disimpang jalan mengingat di satu sisi undang-undang ini pantas mendapat penghargaan atas usahanya mempelopori devolusi penguasaan lahan hutan adat kepada masyarakat, di sisi lain undang-undang tersebut juga memberikan beberapa jalan pada pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya. Siapa yang sesungguhnya membuat keputusan mengenai pengelolaan hutan akan sangat tergantung pada bagaimana undang-undang ini dilaksanakan. Ada satu langkah yang lebih memberi harapan mengingat undang-undang dimaksud menyinggung hutan adat, masyarakat adat denan seperangkt haknya namun hak tersebut tidak memberikan mereka penguasaan yang aman (secure tenure).
Memang jika disimak sekilas dari persyaratan tersebut tergambar bahwa UU Kehutanan ini seolah-olah memperkuat (a) hak masyarakat untuk menggunakan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan (b) hak masyarakat untuk menjalankan aktifitas pengelolaan hutan sesuai dengan peraturan adat (sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan nasional). Ketentuan ini satu tingkat lebih maju mengingat hak-hak yang sama selama ini diberikan kepada masyarakat adat melaui surat keputusan misalnya, SK 251/1993 memberikan hak untuk menggunakan hasil hutan kayu dan non kayu untuk konsumsi yang sudah tentu memiliki kekuatan formal lemah. Namun, pertanyaannya apakah masyarakat setempat mengetahui adanya hak-hak tersebut.
Meskipun telah ada dalam undang-undang, hak atas hutan adat dimaksud tidak otomatis ada, adanya tergantung pada keaktifan masyarakat itu sendiri dalam mengelola hutan adat. Dengan kata lain, pemimpin adat dalam banyak masyarakat harus berjuang untuk mengklarifikasi identitas mereka pada pemerintah untuk meyakinkan legitimasi mereka di antara berbagai konstituen. Banyak pemimpin adat juga bertindak sebagai kepala dalam pemerintah desa. Pemimpin adat lainnya ditunjuk untuk duduk di dalam struktur pemerintahan yang telah ada yang hanya sedikit sekali kaitannya atau tidak berkaitan sama sekali dengan kepemimpinan adat tradisional. Warga masyarakat biasanya menyesalkan kondisi ini dan akibatnya tidak merasa terlalu yakin kepentingan siapa yang diwakili oleh pemimpin mereka.
Makna Negara Dalam Penguasaan Hutan Negara
Kemudian makna negara sebagaimana yang tertulis dalam definisi ‘hutan adat’ menurut undang-undang ini bahwa hukum adat didefinisikan sebagai hutan negara yang berada di dalam wilayah sebuah masyarakat adat. Meskipun penciptaan konsep hutan adat merupakan inovasi paling penting dari UU ini, namun jangan lupa bahwa ketika melafaskan negara maka maknanya adalah tiga pilar utama terselimuti, pertama, pemerintah dengan perangkat politik dan hukumnya; kedua, rakyat berikut perangkat satuan-satuan sosial-budayanya; dan ketiga, teritorial berikut sekalian sumber daya alam yang dikandungnya.
Hal itu menjadi catatan penting mengingat negara tidak akan berdiri tanpa adanya salah satu pilar sehingga menurut pandangan saya tiga pilar utama itu memiliki posisi sejajar saling terkait dan tidak amat dibenarkan salah satu pihak menhancurkan pilar yang lain karena bangunan negara akan runtuh. Artinya, pemerintah sebagai salah satu pilar tidak dibenarkan mengatur rakyat sebagai pilar lain dengan tanpa tujuan jelas dan tidak menghargai keberadaan satuan sosial-budaya yang melekat dimaksud. Demikian pula tidak bisa merusak ekosistem sumber daya alam sebagai pilar yang lain yang ada dalam teritorial tersebut. Dengan kata lain, ketiga pilar harus berdiri tegak, senasib dan sepenanggungan dengan pilar lain.
Memang ada inovasi, tetapi tetap saja UU ini dipahami secara formal bahwa negara diartikan sebagai institusi pemerintah yang dianggap menguasai kendali strategis atas hutan adat. Upaya tetap mengusasai kendali strategis dimaksud, setidak-tidaknya adalah pertama, UU ini menggolongkan hutan adat sebagai hutan negara. Penjelasan yang menyertai UU tersebut menjelaskan bahwa lahan hutan negara adalah lahan hutan yang sebelumnya tidak dibebani hak-hak atas tanah, seperti yang ditentukan dalam Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Kedua, ketika disebutkan bahwa …sepanjang masih ada, maka sebenarnya UU Kehutanan ini memberi pemerintah (bukan negara) sebuah kekuasaan untuk mengakui sekaligus mencabut status “masyarakat adat”. Ini berarti akan berimplikasi pada pencabutan status hutan adat. Kekuasaan ini diberikan pada pemerintah daerah melalui peraturan daerah yang masih harus ditetapkan dan sesuai dengan kriteria yang ditentukan pemerintah nasional.
Ketiga, undang-undang ini menyatakan bahwa hak masyarakat adat akan diberikan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan hukum seperti ini pada masa lampau telah ditetapkan untuk membatasi klaim masyarakat adat. Keempat, dengan definisi hutan adat yang sekarang dapat diinterpretasi bahwa negara boleh mengklaim hutan adat dimanapun letaknya termasuk di lahan pribadi (Kartodihardjo,1999). Jika seluruh hutan adat dijadikan hutan negara, undang-undang ini dapat menciptakan insentif terbalik bagi masyarakat adat untuk menebang hutan pada lahan mereka untuk menghindari status hutan negara dan tetap mengendalikannya. Kelima, undang-undang baru ini menempatkan beban pembuktian pada masyarakat adat bila mereka mengajukan hak adat. Undang-undang tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa penguasa negara atas lahan hutan adalah sah, namun dasar pemikiran ini dipertanyakan oleh masyarakat adat yang merasa mereka masih memiliki klaim sejarah terhadap lahan mereka sebagaimana pernah disebut oleh Florus dkk.(1994).
Kesimpulan
Untuk mendudukkan eksistensi Hutan Adat, secara akademis saya menggungakan konsep kebudayaan bahwa untuk mengatakan hutan adat itu eksis atau eksistensi hukum adat, maka hutan adat harus memenuhi tiga tataran isi kebudayaan dimaksud, yaitu, kebudayaan dalam tataran ideologi, tindakan, dan hasil tindakan. Jika hal ini yang digunakan maka ketentuan hutan adat yang disebutkan dalam undang-undang itu baru sebatas hutan adat dalam tataran ideologi mengingat dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersifat abstrak, namun belum kelihatan aksi ideologi yang berkaitan dengan hutan adat. Sementara aksi ideologi dibutuhkan peraturan pemerintah yang mengaturnya namun sampai sekarang belum kelihatan, baru kemudian diikuti peraturan daerah masing-masing.
Hal itu untuk menghantarkan hutan adat ada dalam tataran aksi, selain itu kehadiran masyarakat adat menjadi penting mengingat masyarakat adat sekitar memiliki hubungan kesejarahan lama, dan tentu apa aktivitas masyarakat adat terhadap hutan adat yang ada di sekitarnya, dan kemudian baru dilihat dari hasil tindakan itu untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat setempat sekaligus dapat digunakan untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk mengelolan hutan adatnya. Serangkaian aturan dari atas ke bawah yang linkmacth itu yang masih belum tampak sehingga hutan adat hanya ada dalam tataran ideologi.
Mungkin muncul pertanyaan, apa sarannya? Paradigmanya adalah negara berpilar pada rakyat, teritorial, dan pemerintah. Dengan demikian sarannya yang muncul adalah tentu pemerintah dituntut aktif merevitalisasi dan menfasilitasi masyarakat adat sebagai sarat utama hadirnya eksistensi hutan adat. Ini menjadi penting mengingat pemerintah jualah yang telah sekian lama memberi ruang gerak kelompok modal untuk mengeksploitasi hutan tanpa memperhatikan secara serius keberadaan masyakaratkat adat, dan saat itu melalui perundang-undangan masyarakat adat kian lama kian terkubur fungsinya sehingga ia tidak dapat bergerak untuk mengakses hutan adat. Untuk itu, pemerintah harus responsif untuk memberdayakan masyarakat untuk mengaktualisasikan Ayat (3) Pasal (33) UUD 1945 bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Kepustakaan

Fay dkk.(2000). Getting the boundaries right: Indonesia’s urgent need to redefine its forest estate. Makalah yang disampaikan pada 8th Conference of the International Association for the Study of Common Property. Mei 2000, Bloomington, Indian, USA.

Florus dkk.(1994). Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta, Indonesia: LP3ES-Institute of Dayakology Research and Development dan PT Gramedia Widiasrana.

Kartodihardjo (1999)..Analisa substansi UU Kehutanan. Disampaikan pada forum komunikasi Kehutanan Masyarakat Listserv. 17 September.

Leach dan Fairheat (1993).Whose social forestry and why? People, saic. Zeitschrift fur Wirstschaftgeographin 37 (2): 86-101.

Patlis. M.Jason (2005).”New Legal Initiatives for Natural Resources Management in a Changing Indonesia: The Promise, the Fear and the Unknown” dalam The Politics and Economics of Indonesia”s natural Resources (budy P. Resosudarmo, editor). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Salim H.S (2003). Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika

Saptomo, ade (2006). “Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam” dalam Tanah Masih Di Langit Jakarta: Yayasan Kemala.

Wollenberg, Eva dan Hariadi Kartodiharjo (2003). “Devolusi dan Undang-undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ke Mana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia (Ida Ayu Pradnya Resosudarmomo, Carol J. Pierce J: penyunting) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal. 98-114.

Hak Ulayat Batak

Keberadaan Hak Masyarakat Adat

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bila dipelajari sejarah kehidupan manusia, dari nenek moyang yang pertama mendiami dunia ini, tanah telah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan tanah sangat erat sekali, karena secara ritual dapat dikatakan bahwa manusia tercipta dari tanah dan akhirnya kembali ke tanah.
Tak ayal lagi bahwa tanah adalah suatu yang penting sekali dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi Bangsa Indonesia yang masyarakatnya bercorak agraris, dimana telah merupakan unsur yang essensial bagi segala aspek kehidupannya. Demikian pula penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai saat ini sebagian besar tinggal di pedesaan. Pada masyarakat pedesaan yang masih didasari pada sifat kekeluargaan dan gotong royong sangatlah sederhana cara berfikirnya. Pengaturan tentang segi-segi kehidupannya pula halnya. Namun aturan-aturan yang sederhana tersebut sangat erat melihat dalam hidup dan kehidupan mereka. Aturan-aturan tersebut ditaati dengan suatu keyakinan dan penghormatan yang sangat mendalam terhadap para pendahulu.
Aturan-aturan tersebut tentunya banyak ragam dan macamnya. Termasuk aturan tentang tanah, yang merupakan tempat berpijak, beraktifitas menyongsong hidup dan kehidupan sampai menganggap tanah sebagai salah satu benda yang mempunyai sifat religius. Salah satu yang menonjol adalah pengaturan tentang hak ulayat dalam masyarakat hukum adat. Namun demikian, walaupun dikatakan menonjol, istilah hak ulayat itu sendiri tidak sama di berbagai daerah di Indonesia. Ada yang menyebut hak persekutuan, hak pertuanan, tanah batin dan lain sebagainya. Namun dari berbagai istilah yang ada istilah “Besschikking recht”lah yang menghimpun semua istilah yang beragam macam tersebut, yang dapat dijumpai dalam berbagai literatur hukum adat.
Mengenai hak ulayat, Van Vollenhwen menulis bahwa di seluruh kepulauan Indonesia ini, hak ulayat merupakan “het hoagste richtten aauzien van garand”, artinya hak tertinggi terhadap tanah dalam hukum adat yang memberi kewenangan kepada masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat atau hasil-hasil yang ada di wilayah masyarakat hukum adat tersebut dan tanah ulayat tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama pada warganya. Sedangkan penjelmaan hak ulayat secara murni adalah:
a. Persekutuan hukum yang bersangkutan dan para anggotanya berhak dengan bebas mengerjakan tanah hutan belukar, membuka tanah, mendirikan teratak, memungut hasil hutan/belukar, berburu dan mengembala.
b. Orang-orang asing dapat melakukan kerja yang serupa dalam sub (a) dengan ijin dari persekutuan hukum yang bersangkutan, jika tidak ada ijin tersebut, orang-orang asing itu dipandang melakukan tindak pidana.
c. Orang asing senantiasa harus membayar harga (pajak) untuk melakukan kerja-kerja di atas tanah tersebut, sementara para warga sendiri kadang-kadang juga harus membayar sewa bumi.
d. Apabila terjadi sesuatu tindak pidana tertentu dalam wilayah hak ulayat yang tidak dapat diberatkan kepada seseorang pelaku, maka persekutuan hukum sendirilah yang bertanggung jawab.
e. Sesuatu yang tunduk pada hak ulayat tidak dapat secara abadi diserah-lepaskan
f. Meskipun sebidang tanah telah dibuka dan dikerjakan oleh seseorang campurtangan persekutuan hukum terhadap tanah yang bersangkutan tidak lenyap seluruhnya. Campur tangan ini bisa menjadi besar kalau hak individu menipis.

Sebaliknya campur tangan ini menipis secara proporsional dengan membesarnya hak individu. Dari hak tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa hak ulayat itu sebenarnya adalah hak dari pada persekutuan hukum atas wilayahnya, termasuk segala sesuatu (kekayaan) yang ada di atasnya. Hal ini dijaga oleh seluruh anggota masyarakat persekutuan dengan cara mentaati aturan-aturan. Demikian juga tentang pemanfaatannya. Dari hak ulayat ini pula hak perorangan berasal. Tentunya juga dengan segala pengaturannya. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa hak ulayat memagari, meresapi dan memayungi hak-hak yang ada, timbul dan berkembang di tengah-tengah anggota persekutuan yang menyangkut tentang tanah.

Di Negara Republik Indonesia saat ini mengenai tanah secara pokok telah diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Sampai saat ini berarti telah berlaku ± 43 tahun. Dengan berlakunya UUPA ini, telah memberikan suatu warna tersendiri dalam pengaturan tentang tanah di Indonesia. Memang diakui, bahwa UUPA sendiri telah tegas menyebutkan hukum agraria bersandar pada hukum adat. Selain daripada itu, hak ulayatpun tetap diakui keberadaannya. Namun pengakuan terhadap hak ulayat dalam UUPA tersebut bertolak pangkal pada pengakuan bahwa hak ulayat tersebut masih ada dalam kenyataan di masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Pengakuan ini tidak hanya demi kepentingan masyarakat hukum adat semata-mata melainkan karena hak ulayat tersebut masih relevan bagi mereka dan loyal kepada kepentingan bangsa dan negara tanpa diskriminasi. Di samping itu, dengan meningkatnya kebutuhan akan tanah diiringi dengan peningkatan permintaan dan penawaran terhadap tanah, mengakibatkan harga tanah terus melambung, sehingga tanah masyarakat adat (ulayat) mulai diperjual belikan, hal ini mengakibatkan meningkatnya persengketaan di bidang pertanahan.

Permasalahan
Bertitik tolak dari apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka menimbulkan suatu permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana eksistensi atau keberadaan hak masyarakat adat atas tanah di Tanah Karo”.





























BAB II
PEMBAHASAN
A. Persekutuan Hukum
1. Masyarakat hukum adat
Sebagaimana dikemukakan oleh Van Vollenhoven, bahwa untuk mengetahui hukum pada waktu kapan saja atau di daerah mana saja, maka yang pertama yang perlu mendapat perhatian ialah sifat dan susunan persekutuan hukumnya. Bagaimana keadaan persekutuan-persekutuan hukum itu harus diuraikan berdasarkan kenyataan yang berlaku pada masyarakat bersangkutan. Jika persekutuan hukum (masyarakat hukum) itu berubah, maka dengan sendirinya hukum yang berlaku dalam persekutuan hukum itu berubah pula. Jika persekutuan hukum itu punah apakah hukumnya punah?, tentu tidak demikian, apakah jika negara punah hukumnya punah pula. Negara bisa hilang, persekutuan itu dapat mati, namun hukumnya tetap ada, karena hukum itu mengikuti manusia yang hidup bermasyarakat.

Bila kembali pada pengertian persekutuan sebagaimana dirumuskan TerHaar, maka persekutuan hukum itu dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang bersifat tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan mempunyai harta kekayaan sendiri baik yang berujud maupun yang tidak berujud (Ter Haar, 1985: 5). Jadi yang merupakan hukum terdiri dari tiga unsur, adanya kesatuan yang tetap dan teratur, ada kekuasaan dan ada harta kekayaan. Sebenarnya yang penting adalah unsur kesatuan yang tetap dan teratur dan ada kekuasaan sendiri, sedangkan harta kekayaan tidak mutlak harus ada.

Pengertian kesatuan yang tetap artinya kesatuan itu tidak bisa bubar begitu saja, karena ikatannya kuat, lalu kesatuan itu harus teratur, artinya harus ada tata tertibnya. Kemudian yang dimaksud ada kekuasaan sendiri berarti berpemerintahan sendiri mempunyai alat perlengkapan persekutuan sendiri untuk menyelenggarakan kepentingan dan kebutuhan hidup sendiri.
Sebagaimana dikemukakan di atas yang penting untuk hidup dan kelangsungan hidupnya suatu persekutuan hukum ialah setidak-tidaknya terdiri dari adanya kesatuan yang tetap dan teratur serta adanya kekuasaan sendiri. Pengertian tetap dan teratur dapat dirangkum ke dalam lingkup perkataan “rukun” oleh karena rukun mengandung arti tertib dan teratur, tentram dan damai, saling memperhatikan dan saling membantu dalam senang dan susah di antara anggota satu dengan yang lain. Jadi hubungan antara anggota bukan saja mesra, karena rasa kekeluargaan tetapi juga tidak terlepas dari pengaruh adanya kepentingan (pamrih).

Perlu dijelaskan bahwa antara istilah rukun dan tertib terdapat perbedaan, bahwa rukun tidak terjadi karena adanya tata paksa, sedangkan tertib terjadi karena adanya tata paksa (Hilman Hadikusuma, 1981: 11). Menurut Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh Wignjodipoero, di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan bathin, golongan tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan orang-orang dalam golongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran golongan itu. Golongan ini mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, milik duniawian dan milik gaib, golongan-golongan inilah yang disebut “Persekutuan Hukum”Jadi Persekutuan Hukum adalah, merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri baik kekayaan materiil maupun kekayaan immateriil.

Inti dari perumusan persekutuan hukum menurut Ter Haar adalah bahwa persekutuan hukum adat itu harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Merupakan kesatuan manusia yang teratur
2. Menetapkan di suatu daerah tertentu
3. Mempunyai penguasa
4. Mempunyai kekayaan baik yang berujud maupun yang tidak berujud
Menurut Mahadi Persekutuan Hukum Adat itu adalah, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Mahadi, 1991: 60).
1. Adanya sejumlah orang-orang tertentu yang bertindak semua merasa terikat dan semuanya memperoleh untung rugi.
2. Apabila kita melihat ke dalam, maka akan tampak adanya orang-orang tertentu atau golongan tertentu mempunyai kelebihan, wibawa dan kekuasaan.
3. Adanya harta benda bersama seperti barang-barang tertentu, tanah, air, tanaman, tempat peribadatan, gedung dan lain-lainnya dan semua orang ikut memelihara benda itu, menjaga kebersihan pisiknya, menjaga kesuciannya dan sebagainya.

Semua boleh mengenyam nikmat dari harta benda itu, akan tetapi orang yang bukan anggota pada umumnya tidak boleh mengambil manfaat dari padanya kecuali dengan seizin persekutuan. Untuk menggambarkan apakah suatu kesatuan dalam masyarakat merupakan suatu persekutuan hukum atau bukan, maka kriteria dan ciri seperti tersebut di atas harus terpenuhi. Sebagai contoh dapat disebutkan sebagai berikut: Suatu famili di Minangkabau merupakan suatu persekutuan hukum karena:
1. Memiliki tata susunan yang tetap, yaitu terdiri dari beberapa bagian yang disebut rumah atau jurai, selanjutnya jurai ini terdiri atas beberapa nenek dengan anaknya yang laki-laki dan perempuan.
2. Memiliki pengurus sendiri, yaitu yang diketuai oleh seorang penghulu andiko. Sedangkan jurai diketuai oleh seorang mamak kepala waris (tungganai)
3. Memiliki harta kekayaan sendiri (harta pusaka) yang diurus oleh penghulu andiko atau mamak kepala waris.
Bagi persekutuan hukum di Indonesia yang kecil dan hampir seluruhnya bertitik tumpu kehidupannya pada pertanian. Suatu wilayah bukan hanya merupakan tempat mempertahankan hidup semata, akan tetapi kepada wilayah itu orang-orang terikat, tanah merupakan modal utama, bagi sebagian besar persekutuan hukum tersebut, bahkan tanah merupakan satu-satunya modal. Jadi setiap persekutuan hukum mempunyai tanah adat sendiri yang disebut hak ulayat. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang persekutuan-persekutuan hukum yang terdapat di Indonesia, maka terlebih dahulu harus dimengerti serta dipahami bentuk serta struktur yang terdapat dalam persekutuan itu.
Menurut dasar susunannya, maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
1. Geneologis, Geneologis yaitu keanggotaan suatu kesatuan didasarkan pada faktor yang berlandaskan kepada pertalian darah, pertalian suatu keturunan, walau dalam kenyataannya tidak menduduki peranan penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum. Dalam persekutuan hukum yang bersifat geneologis, terdapat tiga macam dasar pertalian keturunan, yaitu:
a. Pertalian darah menurut garis Bapak (patrilinial), seperti pada suku Batak, Nias dan Sumba. Masyarakat suku Karo sebagai salah satu sub bagian dari suku Batak juga menganut sistem kekerabatan atau pertalian darah menurut garis Bapak (patrilinial) artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya mengikuti klan atau marga dari ayahnya.
b. Pertalian darah menurut garis Ibu (matrilinial), seperti di Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis Ibu dan Bapak (parental) seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak. Di sini untuk menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang, maka famili dari pihak Bapak adalah sama artinya dengan famili dari pihak Ibu.
2. Teritorial, Teritorial yaitu keanggotaan suatu kesatuan terikat pada suatu daerah tertentu, hal ini merupakan faktor yang mempunyai peranan yang terpenting dalam setiap timbulnya persekutuan hukum. Orang dapat untuk sementara waktu meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan keanggotaan dari persekutuan yang bersangkutan. Orang dari luar lingkungan yang ingin masuk menjadi anggota persekutuan harus diterima menurut hukum adat setempat misalnya, dengan diperbolehkan ikut serta dalam rukun desa dan sebagainya. Mereka yang sejak dahulu kala atau sejak nenek moyangnya berdiam dalam daerah persekutuan, pada umumnya memiliki kedudukan penting dalam persekutuan itu. Menurut Ter Haar, seperti yang dikutip oleh Mahadi, ada tiga bentuk persekutuan dengan faktor teritorial, yaitu:
a. Persekutuan Hukum yang berbentuk Desa yaitu, apabila ada orang-orang segolongan orang-orang terikat pada suatu tempat kediaman, yang mempunyai batas-batas ini mungkin terdapat Desa induk atau dusun-dusun, termasuk jugadukuh-dukuh yang terpencil yang merupakan pancaran dari Desa induk dan tidak berdiri sendiri. Para pejabat Pemerintahan Desa boleh dikatakan semuanya bertempat tinggal di pusat kediaman atau di Desa-desa induk tadi. Contohnya adalah Desa-desa di Bali.
b. Persekutuan Hukum yang berbentuk Daerah. Bentuk persekutuan seperti ini banyak persamaannya dengan persekutuan yang berbentuk Desa akan tetapi dalam persekutuan hukum yang berbentuk daerah ini, di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri-sendiri, tetapi semuanya merupakan bagian bawahan dari daerah. Daerah-daerah ini memiliki harta benda sendiri-sendiri dan menguasai hutan rimba raya dan tanah-tanah yang mereka diami. Contohnya adalah Kuria di Angola dan Mandailing, yang mempunyai hutan-hutan di dalam daerahnya.
c. Persekutuan yang berbentuk federasi desa-desa. Apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan mufakat untuk memelihara kepentingan bersama, misalnya akan mengadakan pengairan. Untuk memelihara keperluan bersama tersebut diadakan suatu badan pengurus yang bersifat kerja sama antar pengurus-pengurus desa tersebut. Sedangkan wewenang para pengurus kerjasama tersebut tidak lebih tinggi dari pengurus desa masing-masing. Contoh, perserikatan huta-huta yang terdapat dalam suku Batak.

Dari ketiga jenis atau bentuk persekutuan di atas, yang semuanya berlandaskan pada faktor teritorial, persekutuan desalah yang menjadi pusat pergaulan sehari-hari. Desa yang sebagai badan hukum yang berdiri sendiri secara bulat, atau sebagai badan persekutuan daerah atasan atau yang mengadakan kerjasama dengan badan persekutuan hukum setingkat untuk memelihara keperluan bersama yang tertentu. Van Vollenhoven, membagi struktur persekutuan hukum ini dalam 4 (empat) golongan, yakni:
a. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan geneologis Contoh: Uma pada suku Dayak, Fukun di pulau Timor serta Fenna di pulau Baru dan Seram.
b. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial yang di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan geneologis. Contoh: Nagari di Minangkabau dengan famili-famili.
c. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa kesatuan geneologis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan kesatuan/teritorial yang lebih kecil. Contoh: Marga dengan dusun-dusunnya di Sumatera Utara, Kuria dengan huta-hutanya di Tapanuli Selatan, sedangkan yang tidak dengan kesatuan teritorial yang lebih kecil lagi adalah desa di Jawa.
d. Persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat persekutuan-persekutuan/badan-badan hukum yang sengaja, didirikan oleh para warganya. Contoh: Desa dengan sinoman-sinoman di Jawa dan Desa-desa dengan Subak di Bali.

Selanjutnya mengenai tata susunan persekutuan-persekutuan hukum Van Vollenhoven dan Ter Haar menguraikan tentang keadaan tata susunan persekutuan-persekutuan hukum ini dalam berbagai bentuk di seluruh Indonesia. Garis besar dari apa yang diuraikan oleh kedua sarjana ini secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Semua Badan Persekutuan Hukum ini dipimpin oleh seorang ketua atau kepala
b. Sifat dan susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiap jenis badan Persekutuan Hukum yang bersangkutan.




2. Kepala Persekutuan Hukum
Suatu persekutuan hukum dikepalai oleh Kepala Persekutuan Hukum (Kepala Rakyat), yang aktifitasnya dapat dibagi dalam 3 hal, yaitu:
1. Urusan tanah
2. Penyelenggaraan tata tertib sosial dan tata tertib hukum supaya kehidupan dalam masyarakat desa berjalan sebagaimana mestinya, supaya mencegah adanya pelanggaran hukum.
3. Usaha yang tergolong dalam penyelenggaraan hukum untuk mengendalikan (memulihkan tata tertib dan tata tertib hukum serta kesejahteraan menurut ukuran-ukuran yang bersumber pada pandangan yang religio-magis (represif). (Bushar Muhammad, 1988: 29).
Sehubungan dengan hak masyarakat hukum adat atas hak ulayat, maka masyarakat hukum adat sebagaimana umumnya penguasa mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut:
1. Melakukan usaha dan mengatur
a. Penyediaan tanah, artinya masyarakat hukum adat wajib menyediakan tanah bagi para warganya untuk kepentingan hidupnya, pangan, sandang dan papan dengan jalan membuka hutan tanah yang belum didah.
b. Pendayagunaan tanah, yaitu menyuburkan atau meningkatkan kesuburan tanah, misalnya dengan menyelenggarakan irigasi pembukaan dan sebagainya.
c. Pemeliharaan, ialah menjaga agar supaya tanah-tanah tidak menjadi rusak tandus karena kurang terpelihara atau penggunaan yang tidak tepat.
2. Mengatur hubungan hukum antara warga masyarakat dengan tanah misalnya, hal apakah yang dapat dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat dan juga orang luar (asing), antara lain: hak milik yayasan, pusaka hak pakai, hak memungut hasil hutan, hak membuka tanah dan lain-lain.
3. Mengatur hubungan hukum antara perorangan dengan tanah atau yang ada hubungannya dengan tanah, misalnya hubungan jual beli lepas, jual gadai, jual sewa, pewarisan, tukar menukar, transaksi bagi hasil.

Hal-hal tersebut di atas selalu dihubungkan dengan hakikat tujuan penguasaan yaitu untuk kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh warga masyarakat, besama-sama atau perorangan. Dengan demikian maka hak ulayat tersebut:
a. Hanya dapat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum dan tidak boleh dimiliki perorangan.
b. Hak ulayat tidak dapat dilepaskan selama-lamanya. Apabila hak ulayat itu dilepaskan sementara, maka harus ada imbalan (pembayaran) kepadapersekutuan hukum yang memiliki tanah tersebut.

3. Hak Ulayat
Di dalam lingkungan hukum adat, tanah memegang peranan yang vital dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Tanah bukan hanya merupakan tempat mempertahankan hidup, akan tetapi kepada tanah pulalah setiap orang menjadi terikat. Eratnya hubungan antara tanah dengan masyarakat hukum adat melahirkan hak-hak masyarakat atas tanah yang didasarkan pengolahan yang dilakukan secara terus menerus.
Mengingat fakta di atas, maka persekutuan hukum dengan tanah yang didudukinya mempunyai hubungan magis-religius. Hubungan ini menyebabkan persekutuan hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah dan memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan serta binatang-binatang yang hidup di atasnya.

Tanah-tanah yang dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat yang diperoleh berdasarkan hak-hak adat disebut tanah adat atau tanah ulayat. Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dari persekutuan hukum atas tanah yang didiami sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh persekutuan hukum itu sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan.

Wilayah kekuasaan persekutuan itu adalah milik persekutuan yang pada dasarnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini adalah tidak diperbolehkan (Wignjodipoero, 1985: 199).
Gambaran yang jelas untuk mengetahui hak ulayat dapat dilihat pada ciri-cirinya. Menurut Van Vollenhoven ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut:
a. Persekutuan hukum itu tiap-tiap anggotanya mempunyai wewenang untuk dengan bebas mengerjakan tanah yang belukar, persekutuan hukumnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru: anggota-anggota memerlukan tanah untuk ditanami sebagai ladang atau sawah dan sebagainya
b. Bukan anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum, kalau dikerjakan tanpa izin maka ia menjalankan suatu pelanggaran (maling hutang).
c. Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat itu mempunyai hak yang sama, tapi bukan anggota selalu diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon).
d. Persekutuan sendiri sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang dibuka itu.
e. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya.
f. Persekutuan hukum tidak dapat memindah tangankan kepada orang lain.

Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, hak ulayat mempunyai arti yang sangat luas, karena memberikan bermacam-macam hak ulayat kepada anggota masyarakat hukumnya berupa hak untuk menggunakan tanah sebagai tempat tinggal (pemukiman) termasuk sebagai tempat berkubur, sebagai lahan pertanian, pengembalaan ternak, mengambil hasil-hasil hutan, berburu binatang dan menangkap ikan yang kesemuanya berada di bawah wewenang persekutuan sebagai pelaksana hak ulayat dan mengawasi serta membatasi warganya.

Ter Haar, telah mengemukakan, berlakunya hak ulayat berarah dua, ke dalam menyangkut pengaturan hak dan kewajiban anggota masyarakat hukum adat, keluar merupakan pengaturan hak dan kewajiban orang luar dan hak untuk mempertahankan hak ulayatnya terhadap gangguan dari pihak luar.

Substansi ini akan mempengaruhi daya berlakunya hak ulayat dengan hak perorangan atas tanah, karena itu jelas menuntut adanya fungsi pengaturan yang jelas dalam masyarakat hukum adat. Adanya hubungan yang saling berkaitan itu karena masyarakat hukum adat mempunyai tiga dimensi yaitu: masyarakat hukum adat sebagai totalitas, kesatuan publik dan badan hukum sebagai totalitas masyarakat hukum adat merupakan penjumlahan dari warga-warganya termasuk kepala adatnya (kepala persekutuannya). Kesatuan publik karena itu merupakan badan hukum yang mempunyai penguasa yang memiliki kewajiban untuk menertibkan dan mengambiltindakan tertentu terhadap warganya, sedangkan sebagai badan hukum ia diwakilioleh kepala suku/kaumnya.

Jadi dapat dikemukakan adanya fungsi pengaturan tersebut di atas, berkenaan dengan berlakunya hak ke luar dan ke dalam. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang jiwa serta filosofinya
berdasarkan hukum adat dan secara prinsip mengakui keberadaan hak ulayat, namun pengaturan materinya secara lebih lanjut tidak dirinci. Hal tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan akibat adanya perbedaan persepsi hukum baik antara masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat dengan instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Di masa lalu dimana kebijakan makro pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, sehingga mengakibatkan kepentingan rakyat/khususnya masyarakat hukum adat kurang diperhatikan bahkan tersingkir, dan hal tersebut banyak menimbulkan tuntutan gugatan dan pendudukan tanah yang telah dikuasai atau dimiliki oleh pihak ketiga/orang khususnya tanah di bawah pengelolaan instansi pemerintah, badan hukum swasta maupun badan hukum pemerintah.

Intinya UUPA sendiri tidak memberikan penjelasan tentang pengertian hak ulayat itu, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah “beschikkings recht”. Istilah hak ulayat dalam referensi hukum adat di kalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Hak ulayat merupakan hak penguasaan yang tertingi atas tanah dalam hukum adat, yang memberi kewenangan kepada masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat atau hasil-hasil yang ada dari tanah-tanah ulayat yang ada di wilayah masyarakat hukum adat tersebut, dan tanah ulayat tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama pada warganya.

Hak ulayat mengandung 2 unsur (BPN 14 September 2000): Pertama, unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat yang dipercaya berasal dari peninggalan nenek moyang mereka sebagai suatu karunia dari kekuatan magis religius, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga masyarakat hukum adat tersebut.
Kedua, unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang-orang bukan warga masyarakat tersebut atau pihak orang luar.

Yang dapat menjadi objek hak ulayat adalah warga masyarakat hukum adat itu sendiri yang dicirikan dengan adanya persekutuan hukum berdasar atas kesamaan tempat tinggal (territorial), yang dikenal dengan berbagai nama khas seperti Torluk di Ambon, Prabumian di Bali, Pertuanan di Batak Simalungun, Tatabuan di Bolangmangondowe Kawasan Indragiri, Wewekon di Jawa, Penyampeto di Kalimantan, Limpo di Sulawesi dan Hak Ulayat di Minangkabau. Sedangkan di Batak Karo untuk hak ulayat, istilahnya tidak terdapat keseragaman artinya berbeda dari satu desa ke desa yang lain. Akan tetapi untuk lebih memudahkan para pembaca lazimnya hak ulayat di Tanah Karo disebut dengan Tanah Kesain. Van Vollenhoven menyatakan: “Tanah ulayat itu adalah, suatu rangkaian dari suatu wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum yang berhubungan dengan tanah termasuk dalam lingkungan wilayahnya” Van Vollenhoven, menggunakan istilah “beschikkingrecht” karena secara defacto persekutuan hukum mempunyai hak atas tanah yang didudukinya, hak atas pohon, tebat dan lain-lain, dalam suatu wilayah penguasaan (beschikkingrecht).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), dikatakan bahwa hak ulayat adalah hak yang dimiliki suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah beserta isinya di lingkungan wilayahnya. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa.

Berlakunya hak ulayat ini menurut sistimatika Ter Haar (1985: 71-72) adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
2. Masyarakat hukum/anggota suku, untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya.
3. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat hukum. Pembukaan tanah dengan sepengetahuan kepalasuku/masyarakat hukum/desa. Merupakan suatu perbuatan hukum yang mendapat perlindungan dalam masyarakat hukum itu. Hubungan hukum antara orang membuka tanah dengan tanah itu, makin lama makin kuat, apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka, sekalipun demikian hak ulayat masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Apabila tanah yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan maka tanah akan kembali menjadi tanah masyarakat hukum. Lain dari itu transaksi-transaksi penting mengenai tanah harus dengan dukungan kepala suku/masyarakat hukum/desa.
4. Oleh masyarakat hukum sendiri dapat ditemukan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman, makam, pengembalaan umum, dan lain-lain.
5. Anggota suku lain (juga bertetangga) tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin kepala suku/masyarakat hukum/desa, dan dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu. Izin yang diberikan kepada suku lain sifatnya sementara, misalnya untuk selama musim panen. Dalam prinsip anggota suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut.
6. Suku/masyarakat hukum yang mempunyai hak ulayat atas wilayah itu, misalnya apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di wilayah tersebut, maka suku atau masyarakat hukum wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.

Sifat istimewa hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat hubungan perseorangan dengan sebidang tanah dan makin memperdalam hubungan seseorang, makin turutlah hak-hak masyarakat hukum terhadap sebidang tanah. Bila
hubungan perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan berlaku kembali hak ulayat.

B. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim hak atas tanah adat dapat dibedakan atas:
1. Hak ulayat, yaitu hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat secara bersama-sama. Dengan hak ini masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh atau bersama. Adapun hak anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang berujud hak ulayat itu pada dasarnya:
a. Hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di wilayahnya/wewenang masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah wewenang hukum masyarakat mereka.
Tetapi dalam konsekkuensinya hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu agar diketahui oleh para anggota lainnya dalam waktu tertentu pula. Contoh, ada seseorang anggota masyarakat secara pribadi berniat untuk mengambil manfaat dari tanah yang termasuk ke dalam tanah ulayat masyarakat yang bersangkutan untuk kepentingan sendiri, hal tersebut boleh dilakukan, meskipun tanah tersebut dan segala isinya menjadi hak bersama semua anggotanya.
Untuk sementara waktu ia berhak mengolah serta menguasai tanah itu dengan mengambil hasilnya, tetapi hal ini bukan berarti bahwa hak ulayat atas tanah yang dikuasai oleh seseorang tadi menjadi terhapus karenanya, melainkan hak ulayat tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah ulayat tersebut.
2. Hak milik dan hak pakai.
Hak milik adat atas tanah adalah, suatu hak atas tanah yang dipegang oleh perseorangan atas sebidang tanah tertentu dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak pakai adat atas tanah adalah, suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah diberikan kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya tanah yang dipakai dalam hukum adat dengan dasar hak pakai, dan biasanya terhadap tanah sawah ladang. Van Dijk (1982: 43) menyebutkan bahwa hak atas tanah adat dapat dibedakan atas:
1. Hak persekutuan atau hak pertuanan.
Hak persekutuan/pertuanan atas tanah adat mempunyai akibat keluar dan kedalam.
Hak persekutuan yang mempunyai akibat ke dalam antara lain:
a. Memperbolehkan kepada anggota persekutuan untuk menarik keuntungan dari tanah dan segala yang ada di atasnya.
b. Mendirikan tempat kediaman
c. Menggembalakan ternak dan berburu ternak.

Di sini dibatasi hak untuk menarik keuntungan dari tanah adat dan hanya diperbolehkan sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri sendiri, jadi hak yang melampaui batas terhadap tanah adat tidak diakui sepanjang bertujuan untuk persediaan bagi usaha perdagangan.

Hak persekutuan yang berakibat keluar ialah:
a. Larangan terhadap orang luar untuk menarik keuntungan dari tanah ulayat, kecuali setelah mendapat izin dan sesudah membayar uang pengakuan (recognitie).
b. Larangan pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perorangan atas tanah pertanian.

2. Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari:
a. Hak milik adat (inland bezitrecht) adalah, hak perorangan atas tanah, di mana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus ditanamnya pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya, dan kekuasaan kaum/persekutuan semakin menipis, dan kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini walaupun telah kokoh dan sempurna namun dapat dibatalkankembali bila:
1. Tidak diusahakan terus menerus, sehingga telah hilang bekas-bekas atau tanda-tanda itu dan tanah itu kembali menjadi belukar.
2. Tidak ada yang berhak atas tanah, karena pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut.
3. Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan persekutuan hukum.
b. Hak memungut hasil tanah (genotrecht) ialah, suatu hak pribadi yang mempunyai kekuatan tertentu, yaitu tentang menikmati hasil tanah saja, sedangkan kekuasaan atas tanah yang berada pada persekutuan, hak inimempunyai kekuatan sementara.
c. Hak menarik hasil ialah, suatu hak yang diperdapat dengan suatu persetujuan para pemimpin persekutuan dengan orang yang mengelola sebidang tanah untuk satu atau dua kali panen. Hak menarik hasil ini juga berakhir apabila:
1. Tanah itu diolah lebih sempurna, sehingga dapat diperoleh hak milik atas tanah tersebut.
2. Habis waktunya, jika diberikan jangka waktu tertentu.
3. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh persekutuan.
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa jenis-jenis hak atas tanah adat didasarkan kepada hubungan antara anggota persekutuan dengan tanah dan hubungan itu tidak terlepas dari pengawasan persekutuan/masyarakat hukumadatnya.

C. Pengertian Tanah Adat
Tanah adat itu sangat penting artinya bagi masyarakat Karo, karena tanah adat merupakan tanah milik bersama masyarakat adat yang harus dijaga keberadaannya dan merupakan sumber kehidupan bagi para pengguna tanah yang tersebut. Dengan perkataan lain tanah adat adalah tanah yang berada dalam lingkungan hak ulayat (tanah ulayat) dan bukan merupakan hak milik perseorangan.

Di Tanah Karo tanah adat ini biasanya dikuasai oleh Penghulu (sekarang Kepala Desa) atau Sibayak atau biasa juga disebut dengan istilah “Simantik Kuta” yang artinya orang atau pihak yang pertama sekali mendirikan desa, mereka ini juga sering disebut dengan “Marga Tanah”. Marga tanah ini dapat mencari tanah subur untuk perladangan di tempat lain, apabila tanah kurang subur di lingkungan desanya. Di tempat/tanah yang ditemukan tersebut marga tanah pertama kali mendirikan barung-barungnya (pondok), lama kelamaan pondok berubah menjadi rumah yang pada akhirnya barung-barung berubah menjadi desa.
Desa pada mulanya adalah berasal dari barung-barung yang apabila penduduknya sudah bertambah banyak, maka salah seorang dari penduduk pendiri barung-barung tadi diangkat menjadi Penghulu yang semarga dengan marga tanah pendiri barung-barung tersebut, namun ada juga pendiri barung-barung tersebut bukan berasal dari marga tanah yang diberi nama “biak senina” di dalam suatu desa.

Biak senina ini meskipun dia semarga dengan marga tanah, tetapi dia tidak berasal dari keturunan marga tanah tersebut.
Penghulu dan marga tanah inilah yang menguasai seluruh tanah-tanah yang terdapat di dalam suatu desa ataupun di sekitar desa, dalam arti bahwa marga tanah adalah sebagai pihak yang akan mengatur tentang hak apa saja yang dapat dipegang oleh suatu anggota masyarakat dengan dibantu oleh pihak anak beru, kalimbubu dan senina (dalihan sitelu). Anggota masyarakat adat yang bukan marga tanah hanya dapat mempunyai hak yang derajatnya di bawah hak milik.

Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa jika diamati dalam
kehidupan masyarakat Karo yang tradisional (tempo dulu), maka masyarakat Karo dibagi atas 3 (tiga) kelas secara vertikal, yaitu:

a. a.Golongan Bangsawan (Sibanyak, Pengulu, Simantik Kuta/Simada Taneh atau Marga Tanah).
b. Ginemgem dan
c. Rakyat Derip (Darwin Prinst, 1980: 2).
Ad.a. Golongan Bangsawan yang terdiri dari Pengulu atau pendiri kampung (marga tanah) yang pada umumnya cukup kaya dan mempunyai tanah pertanian yang luas. Golongan inilah yang melaksanakan pemerintahan di daerahnya, serta memungut cukai perdagangan atau cukai tanah.
Ad.b. Ginemgen ialah keluarga yang turut menempati suatu kampung, tapi bukan sebagai pendiri pertama dari kampung tersebut. Kedatangan golongan ini ke kampung tersebut diterima serta dilindungi oleh marga tanah. Biasanya mereka ini tidak membayar pajak ataupun ikut kerahan (kerja paksa)
Ad.c. Rakyat Derip adalah golongan yang paling bawah dari masyarakat adat. Mereka ini datang dari luar namun diperkenankan tinggal di kampung itu, rakyat derip ini tidak mempunyai tanah pertanian sendiri, serta harus membayar pajak dan ikut dalam kerahen (kerja paksa).

Begitulah hirarki masyarakat Karo pada zaman dahulu dimana pemerintahan dipegang oleh Sibanyak (raja) dan Penghulu secara turun temurun.
D. Kedudukan Tanah Adat
Sebelum lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka di Indonesia pernah berlaku suatu undang-undang pertanahan yaitu hak-hak atas yang tunduk kepada hukum barat (BW) dan yang tunduk kepada hukum adat. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat tersebut menurut ketetapan Domein Verklaring milik Belanda tersebut masih tergolong pula kepada tanah negara yang tidak bebas.

Ketentuan mengenai tanah tersebut dicantumkan dalam suatu undang-undang yang disebut dengan Agrarischewet dengan Stb. 1870 No. 55 yang mana sebagai asas pokoknya adalah domein negara. Dalam peraturan pelaksana undang-undang tersebut ditetapkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan ada hak eigendom di atasnya, maka tanah tersebut merupakan domein negara (milik negara), sementara tanah yang dikuasai oleh rakyat pribumi (tanah adat) tidak pernah mendapat hak eigendom yang sah.
Sesuai dengan asas domein negara tersebut, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu ada kita kenal apa yang dinamakan dengan tanah domein negara yang bebas atau tanah domein negara yang tidak bebas.
a. Tanah domein negara bebas, yaitu tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda seperti: pelabuhan, pasar-pasar, tanah-tanah instansi dan lain sebagainya.
b. Tanah domein negara yang tidak bebas yaitu tanah-tanah yang tidak dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda, tetapi dipakai dengan sesuatu hak yang diberikan pemerintah dengan suatu perjanjian atau peraturan tetapi masih dianggap milik Belanda, seperti tanah yang didiami oleh penduduk Bumi Putera yang disebut dengan tanah adat.
Dilihat dari pembagian tanah tersebut di atas, maka jelaslah bahwa
kedudukan tanah adat termasuk dalam domein negara yang tidak dalam arti tunduk kepada hukum adat. Jadi dari pernyataan domein tersebut menegaskan bahwa tanah negara ialah semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut adalah hak miliknya, sebaliknya tanah adat itu adalah tanah yang tidak tunduk kepada aturan-aturan “eigendom” (hak milik) atau dengan kata lain tanah adat adalah tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang dengan hak “eigendom”.

Di dalam Pasal 75 RR (lama) dikatakan bahwa para hakim dapat
mempergunakan hukum adat sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar umum yang diakui tentang kepatutan dan keadilan. Dalam hal inipun ditonjolkan tentang berlakunya hukum adat, baru sesudah itu disebut pembatasannya.

Pembatasan lain terdapat dalam ayat (6) Pasal 75 RRL yang mengatakan bahwa hukum adat boleh disingkirkan kalau masalah yang dihadapi itu tidak diatur dalam hukum adat. Demikian lemahnya kedudukan hak adat itu di mata hukum Belanda, sehingga hukum adat itu sering dikesampingkan. Dalam hal memutus suatu perkara tentang tanah, pengadilan Belanda sering menyatakan bahwa hukum adat tidak mengatur masalah tersebut oleh karena itu dipakailah hukum Eropa.
Dengan demikian dualisme dalam hukum pertanahan yang kita kenal pada zaman Hindia Belanda tersebut tidak sama derajatnya dan yang lebih diakui adalah hak eigendom. Hal tersebut terbukti dari pernyataan politik yang tertuang dalam persyaratan domein tersebut yaitu bahwa segala tanah yang tidak dibuktikan dengan sesuatu hak eigendom adalah domein negara (milik negara).

Jadi hal-hal atas tanah adat adalah berada dalam posisi yang sangat lemah sekali dan terlalu diarahkan kepada hak-hak yang mirip dengan hak eigendom BW. Pemerintah Hindia Belanda sama sekali tidak berusaha untuk mengembangkan hak adat itu menjadi suatu sistem hukum tanah adat, dalam arti kata bahwa pihak Belanda tetap menganak tirikan hak-hak tanah adat, sehingga dengan demikian hak-hak tanah adat tidak diakui begitu saja oleh pihak Belanda kecuali dimintakan oleh yang bersangkutan dengan sesuatu hak eigendom.



E. Sistem Pemilihan, Penggunaan Tanah Adat
Sebagaimanha diketahui bahwa marga tanah adalah sebagai pendiri desa yang pertama. Sebagai suatu kelompok masyarakat yang membutuhkan kelangsungan hidup sekaligus menjaga perkembangan serta pertumbuhan dari masyarakat persekutuan hukum tersebut, maka mereka tentu sangat memerlukan:
1. Sumber-sumber alami yang menyediakan atau memberikan bahan-bahan bagi kepentingan hidupnya, dimana tanah merupakan pengandung sumber-sumber tersebut, sehingga tanah sebagai tempat tinggal dan sebagai pengandung sumber-sumber tersebut merupakan wilayah territorial mereka (marga tanah) yang tidak boleh diganggu oleh pihak lain (pihak luar).
2. Kebudayaan yang tumbuh dan dikembangkan oleh para anggota masyarakat itu sendiri.

Di dalam kebudayaan yang tumbuh dan dikembangkan di dalam masyarakat tersebut terciptalah peraturan-peraturan mengenai hak-hak dan kewajiban dalam usaha memanfaatkan dan mendayagunakan tanah seperti:
a. Hak memungut hasil hutan
b. Diatur pula secara sedemikian rupa mengenai pemberian-pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat untuk membuka hutan di lingkungan masyarakatnya
c. Hak menggembalakan ternak di kawasan hutan yang ada di bawah persekutuan hukum.
Norma ini merupakan norma yang sifatnya masih sederhana dan belum tertulis. Sejalan dengan perkembangan kebudayaan dari masyarakat itu, sifat yang sederhana tersebut makin lama makin disempurnakan, namun norma-norma tersebut masih bersifat longgar dimana pada waktu itu motivasinya adalah pemanfaatan tanah atau pendayagunaan tanah guna menjamin kelangsungan dan perkembangan hidup anggota masyarakat yang berada di bawah persekutuan hukum tersebut.

Hak suatu persekutuan hukum atas tanah-tanah di sekitar lingkungannya dikenal dengan istilah hak ulayat yang merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah.
Di tanah Karo tanah ulayat ini pada saat sekarang lazim disebut dengan tanah kesain. Tanah kesaian ini kekuasaan oleh masyarakat adat secara bersama-sama yang biasanya dipergunakan sebagai tempat penggembalaan ternak-ternak. Namun penguasaan akan tanah adat ini (tanah kesain) diawasi oleh marga tanah sebagai pendiri pertama dari desa itu.

Hak ulayat tersebut menurut Van Vollenhoven seperti yang dikutip G. Kartasapoetra (1985: 89) mempunyai arti yang cukup luas karena memberikan bermacam-macam hak kepada warga persekutuannya secara terjamin dan terlindungi, yaitu:
a. Hak menggunakan tanah sebagai tempat tinggal (mendirikan rumah)
b. Melakukan bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan
c. Menggembalakan ternak pada tanah-tanah tertentu.
d. Berburu atau menangkap ikan.
Dalam hal ini kepala persekutuan hukum sebagai pelaksana hak ulayat mengawasi serta membatasi gerak gerik para warganya agar tidak mencari keuntungan yang berlebih-lebihan dari tanah yang didayagunakan, dengan maksud dan tujuan agar warga lain dalam persekutuan hukum itu tidak dirugikan.

` Di Tanah Karo dalam pengawasan penggunaan tanah adat tersebut marga tanah ini dibantu oleh pihak keluarga yakni anak beru, kalimbubu, serta seninanya (dalihan setelu). Sementara anggota masyarakat yang bukan berasal dari marga tanah hanya dapat mempunyaii hak yang derajatnya di bawah hak milik. Hak ulayat ini tidak menutup pintu bagi orang-orang di luar persekutuan hukum yang berkeinginan untuk melakukan hak-hak seperti di atas, asal saja terlebih dahulu mereka meminta atau memperoleh izin dari kepala persekutuan.
Pada saat tersebutlah mulai dikenal praktek-praktek yang mengatur agar orang di luar persekutuan hukum untuk dapat turut memanfaatkan tanah persekutuan tersebut yang mana praktek-praktek tersebut dikenal dengan istilah recognitie dan retribusi (memperoleh kewenangan dengan memberikan imbalan). “Recognitie artinya: tanda pengakuan. Retribusi artinya: iuran atau pajak (G. Kartasapoetra, 1985: 89).

Menurut Sukamto, hubungan antara persekutuan hukum dengan tanahnya (ulayat) diliputi oleh suatu sifat yang disebut magis religius artinya masih kuat dipengaruhi oleh serba roh yang menggambarkan bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pemanfaatan tanah harus dilakukan secara hati-hati karena adanya potensi-potensi gaib (G. Kartasapoetra, 1985: 90).

Kehati-hatian terhadap roh halus tersebut mempunyai dampak yang positif terhadap tanah, dimana mereka tidak mau merusak tanah, mereka takut melakukan pelanggaran-pelanggaran yang telah ditentukan oleh ketua Persekutuan Hukumnya, karena jika dilanggar akan merupakan perlakuan jahat terhadap roh tersebut.
Hubungan seperti di atas menghambat pula pada hubungan antara individu, dimana jika terjadi seseorang yang membuka tanah/lahan dan dapat dipertahankan lebih dari waktu 1 atau 2 kali musim panen, maka hubungan antara individu dengan tanahnya tersebut dipandang sebagai hubungan yang lebih erat lagi sehingga lama kelamaan timbul pengakuan bahwa tanah tersebut telah direstuai sebagai miliknya. Akibat selanjutnya timbul perkembangan dari hak ulayat menjadi hak milik menurut hukum adat.

Di Karo hal semacam inipun ada dijumpai, dimana para pendatang yang tidak semarga dengan marga tanah selaku pendiri desa, bagi mereka juga diberi lahan oleh marga tanah tersebut untuk dimanfaatkan. Namun oleh karena pada pendatang ini secara terus menerus memanfaatkan lahan tersebut, sehingga pada akhirnya tanah-tanah tersebut menjadi hak milik dari pendatang yang biasanya terdiri dari berbagai marga seperti Sembiring, Ginting, Tarigan dan sebagainya. Dengan demikian tiap-tiap kelompok marga inipun telah mempunyai tempat atau memiliki tanah sendiri yang lazim disebut dengan Taneh kesain marga Sembiring, Taneh kesain marga Ginting dan lain sebagainya.
Tanah kesain ini meliputi tanah untuk perumahan berikut halaman-
halamannya, hutan tempat mengambil hasil hutan bagi masing-masing kelompok marga. Tanah kesain ini tidak boleh diperjual belikan kecuali bangunan yang berada di atasnya, umpamanya salah seorang dari warga persekutuan tidak membutuhkan tanah tersebut, maka tanah itu kembali jatuh kepada desa.

Hak milik menurut hukum adat, mempunai kekuasaan penuh bagi setiap warga yang menggunakan, dimana warga persekutuan dapat secara bebas mengolah dan mengelola tanah miliknya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak menimbulkan gangguan terhadap warga lainnya.
b. Apabila diperoleh suatu sumber yang mengandung bahan yang bermanfaat bagi kehidupan, penggunaaannya diserahkan kepada kebijaksanaan Kepala Persekutuan Hukum.
c. Apabila tanah tersebut ditelantarkan, maka tanah tersebut akan kembali menjadi tanah milik persekutuan hukum yang dilindungi oleh hak ulayat dan kepala persekutuan hukum akan mengatur pendayagunaannya atau memberikannya kepada warga yang lain dalam lingkungan persekutuan hukumnya.

Dalam hal pemilikan tanah bagi masyarakat pendatang seperti tersebut di atas, selain meminta izin terlebih dahulu kepada pihak penguasa tanah untuk mendapatkan lahan, maka di Tanah Karo untuk memiliki tanah bagi para pendatang ini, mereka mengawini atau ketemu jodoh dengan salah satu keluarga marga tanah atau turunannya, sehingga dengan posisi sebagai anak beru (menantu) dari marga tanah tersebut, maka akan ada kemungkinan ia dapat memiliki atau menggunakan tanah di desa tersebut.
Bukan tidak ada kejadian bahwa, marga tanah di seseuatu desa karena memiliki tanah yang cukup luas, sehingga dalam mengurus tanah perladangan atau persawahan agak malaas. Sebaliknya para pendatang rajin bekerja, sehingga akhirnya tanah yang dikuasai para pendatang ini kadang-kadang lebih luas dari tanah yang dimiliki oleh golongan marga tanah itu sendiri.

Bertitik tolak dari keterangan-keterangan di atas maka dapatlah kita ketahui bahwa penggunaan tanah ini diawasi oleh kepala persekutuan hukum, dimana masyarakat hukum atau para warganya boleh memanfaatkan secara bebas tanah-tanah belukar/hutan di dalam batas hak ulayat, masyarakat adat boleh memungut hasil hutan, berburu atau mengembala. Terhadap orang asing yang ingin menggunakan tanah adat harus dengan izin persekutuan hukum dengan membayar bunga tanah. Jika penggunaan hak pakai tersebut di atas tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat adat, maka tanah itu kembali kepada desa dan pengulu desalah yang berhak untuk menentukan penggunaannya kembali.

F. Keberadaan Hak Masyarakat Adat / Ulayat Atas Tanah di Tanah Karo (Kabupaten Karo)
Pada kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat suku Karo di Kabupaten Karo sekarang eksistensi atau keberadaan dari hak ulayat dan kekuasaan penguasa adat atas tanah ulayat menunjukkan kecendrungan semakin berkurang. Berkurangnya tanah masyarakat adat ini dapat dilihat sebagai contoh di Desa Sarinembak, dimana hutan (kerangen geteng) yang selama ini menjadi tempat mengambil kayu, bercocok tanam, dan lain-lain oleh penduduk asli maupun pendatang maka saat ini kerangen geteng ini sudah diusahai oleh penduduk Desa Selakkar yang berdampingan dengan Desa Sarinembah.

Di sinilah fungsi Kepala Desa sebagai suatu lembaga yang berfungsi sebagai badan yang dapat menyelesaikan sengketa di desa diminta untuk berperan aktif. Karena sampai saat ini belum terdapat penyelesaian (hasil wawancara penulis dengan informan dan masyarakat Desa Sarinembah).
Di samping tanah masyarakat adat di Desa Sarinembah dengan nama Kerangen Geteng masih ada lagi tanah perladangan yang kurang rata tidak berbukit-bukit yang juga merupakan tanah masyarakat adat Desa Sarinembah saat ini oleh Kepala Desa atas musyawarah mufakat dengan masyarakat disewakan kepada penduduk pendatang. Dan kalau pada zaman Jepan tanah tersebut di atas juga disewakan kepada Jepang. Tanah yang disewakan ini bernama Perjuman (perladangan) Arum Mulia. Hasil dari sewa tanah tersebut dimasukkan ke kas desa dan digunakan untuk perbaikan jambur, jalan dan lain-lain. Mengenai luas Perjuman (perladangan) Arum Mulia menurut data di lapangan ± 25 ha. Hanya pengukuran dari Badan Pertanahan belum pernah dilakukan.

Dengan melihat kenyataan di atas bahwa di Desa Sarinembah Kabupaten Karo, keberadaan hak masyarakat Adat yang lazim disebut dengan hak ulayat sampai saat ini masih diakui keberadaannya artinya masih dikuasai secara berkelompok. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3 UUPA yang menentukan masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Di samping hak masyarakat adat/ulayat yang terdapat di Desa Sarinembah terdapat juga hak tersebut di atas di Kecamatan Mardinding di Desa Mbal-mbal Petarum yang dikenal dengan nama Mbal-mbal Nodi, Nodi artinya mbelang (bahasa Indonesia “yang sangat luas”) jadi Mbal-bal Nodi kalau diterjemahkan secara bebas adalah padang rumput yang sangat luas. Kawasan ini mulai dijadikan tempat perjalangen (lokasi pemeliharaan tanah) sekitar tahun 1921 (hasil wawancara dengan penduduk Desa Mbal-bal Petarum). Sampai saat ini masih dikuasai secara berkelompok oleh marga tanah dan di sana sini diperbaharui oleh masyarakat hukum adat namun sama sekali tidak menghilangkan sifat hak ulayatnya.

Sebab pada dasarnya hak ulayat adalah bagian dari hukum adat itu sendiri. Di dalam Pasal 6 UUPA dijelaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan apabila tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

Kepentingan umum dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 ayat 3 UUPA).
Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah sesuatu hal yang sewajarnya
bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta
dicegah kerusakannya.
Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemilik atau
pemegang hak yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pada dari setiap orang,
badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah
(Pasal 15 UUPA) dan dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan
kepentingan pihak ekonomis yang lemah.
Sehubungan dengan uraian di atas maka pada tahun 1961, diadakanlah suatu
musyawarah/mufakat oleh masyarakat Desa Mbal-mbal Petarum dan pengetua-
pengetua adat, anak beru, kalimbubu serta senina dengan maksud untuk lebih
memajukan perjalangen Mbal-mbal Nodi dan akhirnya dicapailah suatu kesepakatan
yang antara lain:
“Yang merupakan hak”:
- Setiap orang bebas untuk menggembalakan ternaknya ke Mbal-mbal Nodi.
- Setiap orang bebas untuk berburu ke Mbal-mbal Nodi
- Setiap orang bebas untuk mengambil hasil hutan, misalnya kayu, bambu dan
lain-lain. (Dikatakan bebas sepanjang sudah mendapat izin dari pihak pengurus,
pengelola Mbal-mbal Nodi).

Page 20
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
20
“Yang merupakan kewajiban”
Bagi penduduk desa (kewajiban kedalam):
“Apabila seseorang ingin menggembalakan ternaknya, harus terlebih dahulu
memberikan setoran wajib kepada pihak pengelola/pengurus sebesar Rp. 50.000
(lima puluh ribu rupiah) tanpa memperhitungkan jumlah ternak yang
dimasukkan/digembalakan ke Mbal-mbal Nodi.”
Bagi penduduk luar Desa (kewajiban keluar)
“Apabila seseorang ingin menggembalakan/memasukkan ternaknya ke Mbal-mbal
Nodi tersebut, terlebih dahulu melunasi kewajibannya kepada pihak pengelola/
pengurus sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) tanpa memperhitungkan jumlah
ternak yang dimasukkan/digembalakan ke Mbal-mbal Nodi”
Adapun hasil yang diperoleh dari Mbal-mbal Nodi tersebut sama seperti di
Desa Sarinembah oleh pengurus pengelolanya disimpan di kas desa dan
dipergunakan untuk keperluan:
- Perbaikan jalan desa
- Perbaikan jalan ke Mbal-mbal Nodi
- dan lain-lain.
Sebenarnya keberadaan hak masyarakat adat/hak ulayat di Desa yang lain
juga ada. Artinya setiap desa pada dasarnya mempunai hak masyarakat adat (hak
persekutuan) yang dapat dikelola secara bersama-sama oleh penduduk desa tersebut.
Namun karena keterbatasan waktu, penulis hanya mengambil dua desa sebagai
mewakili desa yang ada di Tanah Karo (Kabupaten Karo).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam lingkungan
masyarakat adat di Tanah Karo masih dikenal adanya hak ulayat/hak masyarakat
adat atas tanah yang merupakan hak persekutuan adat, di mana kewenangan
penguasaan atas tanah tersebut dipegang oleh Kepala Desa dan pemangku adat. Di
dalam hak ulayat diakui pula adanya hak atas tanah perseorangan. Wewenang
penggunaan tanah selalu disertai dengan kewajiban sehingga dalam pemanfaatan
tanah tidak hanya berguna bagi individu tetapi juga memberi manfaat bagi warga
persekutuan. Bilamana kewajiban atas penguasaan tanah ulayat tidak dipenuhi atau
tidak ada tanda-tanda adanya hubungan seseorang dengan tanah, maka penguasa
adat berhak untuk mengambilnya dan status itu kembali menjadi hak ulayat dan
seterusnya dapat diberikan kepada warga persekutuan yang lain. Hukum Adat dalam
masyarakat Adat Karo pada dasarnya tidak membedakan hak antara warga
masyarakatnya dengan warga luar sehubungan dengan pemilikan dan penguasaan
atas tanah ulayat.
Walaupun keberadaan hak ulayat sampai saat ini dianggap masih eksis
khususnya di Tanah Karo tetapi masih terdapat persengketaan antara warga
masyarakat, yaitu mengenai penguasaan atas tanah ulayat. Dengan demikian

Page 21
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
21
membawa konsekuensi bahwa hak ulayat (hak masyarakat adat) semakin hari
semakin berkurang luasnya.
Tanah ulayat yang diambil untuk kepentingan tertentu cukup banyak dan cara
pengambilannya dinilai banyak kalangan mengabaikan peranan penguasa adat dan
ketentuan hukum adat setempat. Sekarang keberadaan dari tanah ulayat dan peranan
penguasa adat dalam mengatur tanah ulayat hanya kelihatan sebatas di dalam desa
dan pada tanah-tanah di sekitar wilayah desa pada areal yang terbatas.
B. Saran
1. Hendaknya tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan
dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi
dan apabila memungkinkan menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya
dalam daftar tanah. Sedangkan penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk
tanah ulayat oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan oleh warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut
ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh
pemegang haknya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut
ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
2. Hendaknya keberadaan masyarakat adat itu sendiri secara utuh pengaturannya,
dan tidak dicampur aduk dengan orang-orang pendatang. Dengan demikian
tercapai kepastian hukum
3. Perlu dijaga kewibawaan serta keberadaan pemimpin, sehingga memperkecil
sengketa di antara para warga khususnya menyangkut tanah persekutuan.
4. Perlu kiranya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dirubah dan ditambah
ketentuan yang mengikutsertakan pengetua adat dalam hal pendaftaran tanah
ulayat.
5. Perlu juga kiranya diadakan unifikasi mengenai peristilahan hak masyarakat adat
atas tanah di Tanah Karo sehingga tidak menyulitkan bagi orang luar (di luar
suku Karo) memahaminya.

e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
22
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1988.
Darwin Prinst, Pendidikan Kepemimpinan Pada Suku Karo, 1980.
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung, 1981.
Mahadi, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat RR 1854, cetakan kesatu, Alumni,
Bandung, 1991.
Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia Indonesia,
1993.
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur Batu, Bandung, 1985.
Wignodipuro Berojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Haji
Masagung, Jakarta, 1987.
G. Kartasapoetra, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Class Action

Bagaimana Melakukan Class Action?


Menurut PERMA No 1 Tahun 2002 Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) merupakan suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

Unsur-Unsur Class Action
a. Gugatan secara perdata
Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya untutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.

b. Wakil Kelompok (Class Representatif)
Satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya. Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota Kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari wakil Kelompok sebagai penggugat aktif.

Anggota Kelompok (Class members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif.

Adanya Kerugian yang nyata-nyata diderita
Untuk dapat mengajukan class action Baik pihak wakil kelompok (class repesentatif ) maupun anggota kelompok (class members) harus benar-benar atau secara nyata mengalami kerugian atau diistilahkan concrete injured parties. Pihak-pihak yang tidak mengalami kerugian secara nyata tidak dapat memiliki kewenangan untuk mengajukan Class Action.

Kesamaan peristiwa atau fakta dan dasar hukum
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini. Namun bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih dapat diterima sepanjang perbedaan yang subtansial atau prinsip.

Manfaat Class Action
- Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy)
- Mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten
- Akses terhadap Keadilan (Access to Justice)
- Mendorong Bersikap Hati-Hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran.

Persyaratan mengajukan Class Action
- Jumlah anggota kelompok yang besar (Numerousity)
- Jumlah anggota kelompok (class members) harus sedemikan besar sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-diri (individual).

Adanya kesamaan fakta dan dasar hukum (Commonality)
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini. Namun bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan, hal ini masih dapat diterima sepanjang perbedaan yang subtansial atau prinsip.

Tuntutan sejenis (Typicality)
Tuntutan (bagi plaintif Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class Action ) dari seluruh anggota yang diwakili (class members) haruslah sejenis. Pada umumnya dalam class action, jenis tuntutan yang dituntut aaalah pembayaran ganti kerugian.

Kelayakan wakil kelompok (Adequacy of Repesentation)
Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidakalah mudah, hal ini sangat tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak diperyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok

Class Action Dalam Aturan Hukum Indonesia
1. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dalam pasal 37 ayat 1 berbunyi :
“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat”.


2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 ayat 1 huruf b berbunyi :
“Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama”

3. UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Pasal 38 ayat 1
Masyarakat yang dirugikan akibat pekerjaan konstruksi berhak mengajukan gugatan ke pengadilan secara :
a. orang peroranagan
b. Kelompok orang dengan pemberi kuasa
c. Kelompok orang dengan tidak dengan kuasa melalui gugatan perwakilan

4. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 71 ayat 1 berbunyi
“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat”

5. PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Pembahasan mengenai prosedur atau tata cara gugatan perwakilan kelompok (Class Action) yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 secara garis besar terdiri dari ketentuan umum, tata cara dan persyaratan gugatan perwakilan kelompok, pemberitahuan, pernyataan keluar, putusan dan ketentuan umum.

Tahap-tahap class action
- Pengajuan gugatan
- Sebelum proses pemeriksaan perkara
- Saat proses pemeriksaan perkara
- Putusan Hakim
- Distribusi kerugian
- Pengajuan surat gugatan Class Action

Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (fundamentum petendi) dan tuntutan.

Surat gugatan perwakilan kelompok (class action ) harus memuat hal-hal sebagai berikut:
- Identitis lengkap dan jelas wakil kelompok
- Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu
- Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan
- Posita dari seluruh kelompok yang dikemukakan secra jelas dan terperinci
- Tuntutan atau petitum tentang Ganti Rugi harus dikemukaakn secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok.

Sebelum proses pemeriksaan perkara
Hakim memeriksa dan mempertimbangakan kriteria gugatan Class Action.
Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan tatacara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.

Apabila hakim menyatakan sah maka gugatan Class Action tersebut dituangkan dalam penetapan pengadilan kemudian hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.

Setelah model pemberitahuaan memperoleh persetujuan hakim pihak penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim.

Saat proses pemeriksaan perkara
Proses pemeriksaan sama seperti dalam perkara perdata pada umumnya yaitu :
- Pembacaan surat gugatan oleh penggugat
- Jawaban dari tergugat
- Replik (tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah disamapaikan oleh Tergugat)
- Duplik (jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik)
- Pembuktian
Untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang apa yang telah didalilkan oleh para pihak, maka kedua belah pihak menyampaikan bukti-bukti dan saksi-saksi
- Kesimpulan
Merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak

Putusan hakim
Putusan hakim dapat berupa dikabulkannya gugatan penggugat atau gugatan penggugat tidak dapat diterima (ditolak). Terhadap putusan ini pihak yang dikalahkan dapat mengajukan upaya hukum banding

Alur Peradilan Tata Usaha Negara

Alur Peradilan Tata Usaha Negara

Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986.

Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan lainnya, yaitu:
1. Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
2. Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara). Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hokum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
3. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
4. Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
5. Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
6. Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
7. Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.
8. Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
9. Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil enggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.

Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.

Bentuk upaya administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.

Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:
- Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
- Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.

Hak Penggugat
1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usahan Negara. (pasal 53)
2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

Kewajiban Penggugat
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)

Hak Tergugat
1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan olen pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)
5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

Kewajiban Tergugat
1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9):
a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau
b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru;
c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3
2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal 117 ayat 1)
3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)