Kamis, 31 Januari 2008

Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya

Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya
Sulistyowati Irianto



Abstrak

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan sejarah kemunculan dan perkembangan pendekatan yang sangat mendominasi pemikiran antropologi hukum sejak sangat lama. Karena munculnya pemikiran kritis dalam kajian hukum yang memberi tempat yang terhormat bagi hukum-hukum yang tidak berasal dari negara”, maka pertama-tama, akan dijelaskan mengenai kekuatan hukum yang tidak berasal dari negara dalam beberapa situasi konflik. Kedua, sebelum menguraikan tentang pemikiran pluralisme hukum, sangatlah signifikan untuk mengemukakan konsep hukum dalam pandangan para pengkaji antropologi hukum. Ketiga akan merupakan inti pembahasan dalam paper ini, yaitu mengenai sejarah dan perkembangan pendekatan pluralisme hukum. Persoalan metodologis akan terintegrasi ke dalam pembahasan tentang teori, karena setiap aliran pemikiran akan berimplikasi kepada pendekatan metodologisnya.



Pengantar

Untuk menggarisbawahi, bahwa hukum-hukum yang tidak berasal dari negara sangat berperan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bagian ini akan menunjukkan fenomena tersebut dalam beberapa situasi konflik. Pada tingkat institusional terdapat berbagai ragam pranata penyelesaian sengketa di samping peradilan negara. Sengketa bisa diselesaikan oleh pranata-pranata yang otoritasnya bersumber pada adat, agama , atau pranata sosial lain. Kecuali peradilan agama Islam, di Indonesia pada umumnya pranata penyelesaian sengketa tidak secara khusus diciptakan, tetapi terintegrasi dengan pranata lain yang melandasi kegiatan-kegiatan adat atau sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat (komunitas) tertentu. Sebagai contoh, secara tradisional orang Batak Karo mengenal runggun, dan orang Batak Toba mengenalnya sebagai marhata, yaitu the institutionalized tradition process of formal deliberation and decision making by concencus (Slaats dan Slaats, 1992:1) . Pranata tersebut bukan hanya merupakan pranata penyelesaian sengketa, tetapi juga digunakan untuk memusyawarahkan berbagai perkara yang lebih luas, yang belum tentu menimbulkan sengketa. Institusi semacam itu juga terdapat di Toraja, Sulawesi Selatan, dan dinamakan hadat (Ihromi, 1988: 145)

Dalam rangka terdapatnya berbagai pilihan hukum dan institusi peradilan, seseorang akan memilih suatu hukum atau kombinasi lebih dari satu aturan hukum, yang memungkinkan ia mendapatkan akses kepada sumberdaya atau pemenuhan kepentingannya. Dalam hal ini dapat diacu suatu konsep yang menggambarkan hal tersebut yaitu konsep forum shopping yang mengatakan bahwa: “disputants have a choice between different institutions and they base their choice on what they hope the outcomes of the dispute will be, however vague or ill-founded their expectations may be” (K.Benda-Beckmann, 1984: 37). Sebaliknya sebagaimana para pihak, institusipun (sebenarnya yang lebih tepat bukanlah institusinya, tetapi fungsionarisnya) mempunyai pilihan untuk menolak atau menerima suatu perkara berdasarkan kepentingan politik. Hal itu tertuang dalam konsep shopping forums: “ …there are also shopping forums engaged in trying to acquire and manipulate disputes from which they expect to gain political advantage, or to fend off disputes which they fear will threaten their interest” (K.Benda-Beckmann, 1984: 37). Dalam hal ini memang “Higher courts may compete for cases by manipulating procedural and appeal rules in the same way as folk institutions do with folk law rules” (F. Benda-Beckmann, 1985: 193)

Berbagai hasil penelitian mengenai pilihan orang akan pranata hukum dalam rangka sengketa memperlihatkan, bahwa orang cenderung menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Pekerja-pekerja di suatu pabrik di Chili dalam mencari keadilan lebih memilih cara mediasi melalui lembaga yang disebut the Inspectorat (semacam lembaga mediasi), padahal mereka memiliki Labour Courts (pengadilan buruh)(Ietswaart, 1982: 625-667). Hubungan kontrak antara perusahaan-perusahaan negara di negara sosialis Polandia ditangani secara arbitrasi oleh badan yang disebut Arbitracs (Kurczewski dan Frieske, 1974). Sementara itu cara-cara negosiasi lebih disukai dalam transaksi antara perusahaan-perusahaan besar di Amerika, meskipun mereka secara hukum mengikatkan diri pada kontrak perjanjian yang mengatur secara rinci mengenai apa yang harus dilakukan bila terjadi sengketa (Macaulay, 1963: 55-66). Dalam kaitannya dengan sengketa yang melibatkan orang–orang dari bangsa dan latar belakang budaya yang berbeda, tetapi tinggal di wilayah yang sama, di San Diego, Amerika, dikembangkan Community Mediation Center, yang keberhasilannya dalam menyelesaikan sengketa rata-rata mencapai 90 % (Rohrl, 1993: 132).

Sementara itu keadaan di Indonesia sendiri digambarkan oleh Nancy Tanner yang menulis mengenai Minangkabau:

Most disputes in Minangkabau, as in many societies, our own included, are settled out of court by the parties involved or with the informal assistance of a mediator, who in Minangkabau, is usually a friend, a kinsman or village leader; or they may be settled by a number of non-court types of hearings, such as those held in surau (Islamic prayer houses) village, school-houses, on mosque verandas, in disputed fields, in village coffee shops. Such hearing are attended by an adhoc gathering of interested village or hamlet and advisory board. Similar but more formal hearings are also held before kin functionaries (Tanner, 1969: 24-25)

Mengenai pilihan orang terhadap pranata hukum dalam penyelesaian sengketa, dinyatakan oleh banyak ahli bahwa pilihan tersebut ternyata tidak “hitam-putih”, melainkan bisa merupakan suatu kombinasi lebih dari satu pranata hukum, bahkan Cecilio et.al mengatakan:

“Hence, it is best to see the formal/ legal and informal/extra legal modes not as dichotomies but as extremes of continuum. They are not alternative modes that are exclusive of each other, but rather complementary processes. Somewhere between these two extremes lies the merger of law and tradition, at most, or the recognition of tradition through law, at the very least” (Cecilio, et.al, 1988:3)

Dengan demikian hal yang lebih penting adalah melihat proses bagaimana pranata-pranata hukum itu bergerak dalam suatu kontinum berdasarkan konteks-konteks tertentu, kapan seseorang berada di suatu ujung kontinum tersebut dan kapan ia berada di ujung yang lain.

Dalam perkembangan pemikiran pluralisme hukum yang terakhir, terdapat penjelasan yang lebih gamblang mengenai konfigurasi keberagaman pilihan hukum ini. Hal itu akan saya jelaskan dalam bagian pluralisme hukum di bawah ini. Sementara itu wacana pendekatan metodologis yang menyertai tema-tema sengketa berkaitan dengan pilihan hukum seseorang, dapat dibaca dalam S. Irianto (2000: 65 - 67)


Konsep Hukum Dalam Wacana Antropologi Hukum

Terdapat begitu banyak pengertian hukum, namun penjelasan mengenai pengertian tersebut akan dikemukakan berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh tiga paradigma, yaitu rule centered paradigm, pendekatan kritik dan pendekatan prosesual, karena ketiga paradigma itulah yang paling banyak mengkaji masalah sengketa atau konflik.

Dalam rangka kajian terhadap hukum, beberapa aliran pemikiran digolongkan ke dalam rule-centered paradigm oleh Comaroff dan Roberts (1981). Pada umumnya para ahli dalam paradigma tersebut menggunakan konsep-konsep dan kategori-kategori yang dikenal dalam sistem hukum Anglo-Amerika untuk mempelajari sistem hukum dalam kebudayaan yang lain. Kegiatan studi perbandingan yang mereka lakukan adalah bertujuan untuk mencari persamaan dan perbedaan yang ada di antara sistem-sistem hukum yang berlainan tersebut. Dalam hal ini konsep hukum yang dikenal dalam kebudayaannya sendiri (Barat) selalu dikaitkan dengan sovereignity, rules, courts dan enforcement agencies. Pada prinsipnya hukum dipandang sebagai cara untuk meningkatkan integrasi sosial, dan merupakan akumulasi atau abstraksi dari norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut sebagai pedoman berperilaku.

Sebagai contoh, Radcliffe-Brown yang dalam antropologi pada umumnya dikenal beraliran Struktural Fungsionalisme, mengartikan hukum sebagai social control through the systemic application of the force of politically organized society. Evans-Pritchard mengidentikkan hukum dengan situasi di mana di dalamnya terdapat authority with power to adjudicate and enforce a verdict (Comaroff dan Roberts, 1981: 6). Kemudian Pospisil mengatakan bahwa hukum seharusnya dilihat sebagai principles extracted from legal decision, dan keputusan tersebut haruslah yang memenuhi empat atribut: authority, intention of universal application, obligatio dan sanction ( Pospisil, 1971: 39-96). Seorang ahli antropologi hukum Amerika Adamson Hoebel memunculkan definisi kerja mengenai hukum sebagai a social norms is legal if its neglect or infraction is regularly met, in threat or in fact, by the application of physical force by an individual or group posessing the socially recognized priviledge of so acting (Hoebel, 1983: 28, cetakan pertama tahun 1954). Karena definisi yang dikemukakan diturunkan dari teori hukum Barat, yang menghubungkan hukum dengan pengendalian sosial yang otoritatif, maka muncul permasalahan yaitu, sulit untuk menerapkan begitu saja definisi-definisi tersebut ke dalam masyarakat lain. Bahkan beberapa masyarakat lain yang tidak memiliki kategori-kategori seperti yang dimiliki hukum Barat, dan mereka namakan sebagai stateless society atau archaic society, dipandang tidak memiliki hukum. Ketertiban yang berlangsung dalam masyarakat itu terjaga bukan berkat adanya hukum melainkan adanya automatic spontaneous submission to tradition (Radcliffe-Brown, 1986: 212-219, cetakan pertama 1952).

Sementara itu dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai netral, tetapi merupakan “sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain (Starr dan Collier, 1985: 3). Berbeda dengan pandangan kaum fungsionalis, yang memandang hukum sebagai alat untuk meningkatkan integrasi sosial, pendekatan kritik memandang hukum sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tata tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain (Wallace dan Wolf, 1980: 99). Hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang sangat berkuasa, dengan cara membangun false consciousness (Wallace dan Wolf, 1980: 123).

Pendekatan ketiga yang pengertian hukumnya akan dikemukakan adalah pendekatan prosesual. Pada prinsipnya hukum dipandang sebagai bagian kebudayaan, yang memberi pedoman bagi warga masyarakat mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak (normatif), dan dalam hal apa (kognitif) (F. Benda-Beckmann, 1986: 96). Oleh karena hukum adalah bagian dari kebudayaan, maka konsepsi normatif dan kognitif tersebut bisa berbeda-beda di setiap kebudayaan, dan bisa berubah di sepanjang waktu. Dalam pemikiran prosesual, hukum dipandang sebagai gejala sosial atau proses sosial, artinya, hukum selalu berada dalam pergerakan (dinamika), karena dipersepsikan, diberi makna dan ketegori secara beragam dan berubah sepanjang waktu. Pengertian mengenai hukum yang demikianlah yang sebenarnya menjadi acuan dalam penelitian ini.


Pluralisme Hukum

Bila pada pertengahan abad ke-19 keanekaragaman sistem hukum yang dianut oleh masyarakat di berbagai belahan dunia ini ditanggapi sebagai gejala evolusi hukum, maka pada abad ke-20 keanekaragaman tersebut ditanggapi sebagai gejala pluralisme hukum. Kebutuhan untuk menjelaskan gejala ini muncul terutama ketika banyak negara memerdekakan diri dari penjajahan, dan meninggalkan sistem hukum Eropa di negara-negara tersebut.

Sampai saat ini sudah banyak konsep dan atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan (1970 an) mengajukan konsep pluralisme hukum yang meskipun agak bervariasi, namun pada dasarnya mengacu pada adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam lapangan sosial yang sama, seperti yang dikemukakan oleh Sally Engle Merry, pluralisme hukum adalah “is generally defined as a situation in which two or more legal systems coexist in the same social field” (Merry, 1988: 870). Pada kesempatan ini juga akan diajukan konsep klasik dari Grifiths, yang mengacu pada adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial. “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more than one legal order” (Griffiths, 1986: 1). Dalam arena pluralisme hukum itu terdapat hukum negara di satu sisi, dan di sisi lain adalah hukum rakyat yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yang terdiri dari hukum adat, agama, kebiasaan-kebiasaan atau konvensi-konvensi sosial lain yang dipandang sebagai hukum. Namun dalam era globalisasi seperti sekarang, perlu diperhitungkan hadirnya hukum internasional dalam arena pluralisme hukum. Dalam kenyataan empirik, khususnya dalam bidang perekonomian dan bidang hak asasi manusia, kehadiran hukum internasional terlihat sekali pengaruhnya.

Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. Bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan adanya sistem hukum lain di samping hukum negara masih sulit diterima. Padahal dalam kenyataan sehari-hari tidak dapat dipungkiri terdapat sistem-sistem hukum lain di luar hukum negara (state law). Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut “beroperasi” bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari, artinya, dalam konteks apa orang memilih (kombinasi) aturan hukum tertentu, dan dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.

Selanjutnya Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu: weak legal pluralism dan strong legal pluralism. Menurut Griffiths pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara. Contoh dari pandangan pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker : “The term legal pluralism refers to the situation in which two or more laws interact” (Hooker, 1975: 3). Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara), dengan servient law yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama.

Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat, yang menurut Griffiths merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di semua (kelompok) masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari yang lain. Griffiths sendiri memasukkan pandangan beberapa ahli ke dalam pluralisme hukum yang kuat antara lain adalah, teori living law dari Eugene Ehrlich, yaitu aturan-aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang dikontraskan dengan hukum negara.

Only we must bear in mind that what has been said about the rule of conduct must not be applied to the norm for decision; for courts may at any time draw forth a legal proposition which has been slumbering for centuries and make it the basis of their decisions…The norms operate through the social force which recognition by a social association imparts to them, not through recognition by the individual members of the association (Ehrlich dalam Tamanaha, 1993: 31)

Dalam hal ini sebenarnya Ehrlich tidak hanya menunjukkan bahwa ada jurang di antara law on the books dan aturan-aturan dalam kehidupan sosial, tetapi juga bahwa keduanya merupakan kategori yang berbeda secara hakiki (Tamanaha, 1993: 31). Pandangan lain yang dikategorikan sebagai pluralisme hukum yang kuat menurut Griffiths adalah teori dari Sally Falk Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan pemaksa di dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label the semi-autonomous social field. Dalam hal in Griffiths mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore: “Legal pluralism refers to the normative heterogeneity attendant upon the fact that social action always takes place in a context of multiple, overlapping ‘semi-autonomous social field” Sementara itu pengertian hukum dari Moore yang juga dikutipnya adalah: “ Law is the self-regulation of a ‘semi-autonomous social field” (Tamanaha, 1993: 24-25)

Meskipun masih sering menjadi acuan, pandangan legal pluralist permulaan itu kemudian mendapat kritik terutama dari sarjana hukum konvensional (Tamanaha, 1993, Kleinhans dan MacDonald, 1997). Menurut Tamanaha sebenarnya konsep pluralisme hukum bukanlah hal yang baru, karena Ehrlich telah membicarakan hal yang sama lebih dari 50 tahun yang lalu, ketika ia berbicara mengenai konsep living law itu. Dalam salah satu kritiknya terhadap pandangan pluralisme hukum, Tamanaha yang lebih suka menggunakan istilah “rule system” untuk menggantikan istilah “legal” dalam “legal pluralism”, mengatakan bahwa pandangan kaum legal pluralist cenderung menonjolkan adanya kontras antara hukum negara dan hukum rakyat (1993: 31). Sebaliknya, menurut kaum legal pluralist, justru sebagian kalangan sarjana hukum sendiri yang mengatakan bahwa karakteristik yang paling utama dari folk law adalah, ia tidak diturunkan dari negara (Woodman, 1993: 2).

Kemudian berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menonjolkan dikotomi antara sistem hukum negara di satu sisi dan sistem hukum rakyat di sisi yang lain. Pada tahap ini konsep pluralisme hukum lebih menekankan pada “a variety of interacting, competing normative orders –each mutually influencing the emergence and operation of each other’s rules, processes and institutions” (Kleinhans dan MacDonald, 1997: 31). Franz von Benda-Beckmann adalah salah satu ahli yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan ini. Ia mengatakan bahwa tidak cukup untuk sekedar menunjukkan bahwa di lapangan sosial tertentu terdapat keanekaragaman hukum, namun yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum tersebut, bagaimanakah sistem-sistem hukum tersebut saling berinteraksi (mempengaruhi) satu sama lain, dan bagaimanakah keberadaan dari sistem-sistem hukum yang beragam itu secara bersama-sama dalam suatu lapangan kajian tertentu (F. Benda-Beckmann, 1990:2). Pemikiran di atas sekaligus juga menunjukkan segi-segi metodologis, yaitu cara bagaimana melakukan kajian terhadap keberagaman system hukum dalam suatu lapangan kajian tertentu.

Pada tahap perkembangan ini (akhir 1990-an) terdapat variasi pandangan, yang ditunjukkan oleh adanya konsep pluralisme hukum yang tidak didasarkan pada mapping yang kita buat sendiri, tetapi melihatnya pada tataran individu yang menjadi subyek dari pluralisme hukum tersebut. Lihatlah bagaimana Gordon Woodman mengajukan konsepnya:

Legal pluralism in general may be defined as the state of affairs in which a category of social relations is within the fields of operation of two or more bodies of legal norms. Alternatively, if it is viewed not from above in the process of mapping the legal universe but rather from the perspective of the individual subject of law, legal pluralism may be said to exist whenever a person is subject to more than one body of law (Woodman dalam Kleinhans dan MacDonald, 1997: 31)

Pandangan Woodman di atas masih masih tetap sama sampai saat sekarang. Hal ini terlihat dari makalahnya dalam Kongres Internasional ke-13, Pluralisme Hukum di Chiang Mai (Woodman, 2002)

Menurut hemat saya, munculnya pendekatan yang tidak mendasarkan diri semata pada mapping of the legal universe, merupakan masukan yang cukup berarti dalam rangka mencari pendekatan yang dapat menyederhanakan gejala hukum yang rumit dalam masyarakat. Lihatlah bahwa pluralisme hukum juga terdapat dalam sistem hukum rakyat (folk law), seperti hukum agama, adat, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang saling “bersaing”. Sementara itu sistem hukum negara juga plural sifatnya. Pluralisme dalam hukum negara tidak saja berasal dari pembagian jurisdiksi normatif secara formal seperti pengaturan pada badan-badan korporasi, lembagal-lembaga politik, badan-badan ekonomi, dan badan-badan administrasi yang berada dalam satu sistem, tetapi juga dalam banyak situasi dapat dijumpai adanya choice of law, bahkan conflict of law. Pada prinsipnya state law itself typically comprises multiple bodies of law, with multiple institutional reflections and multiple sources of legitimacy (Kleinhans dan MacDonald, 1997: 32).


Mengarahkan perhatian pada tataran individu, seperti yang disarankan oleh Woodman, nampaknya perlu mendapat perhatian dalam rangka mengkaji masalah pluralisme hukum. Eksistensi dari pluralisme hukum akan nampak jika kita melihatnya dari perspektif individual yang menjadi subyek hukum. Dengan kata lain, pluralisme hukum baru dikatakan ada bila terdapat seseorang yang menjadi subyek lebih dari satu sistem hukum. Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah ketika seseorang menghadapi suatu sengketa. Ia akan berhadapan dengan berbagai pilihan hukum dan institusi peradilan. Namun persoalannya adalah, berbicara mengenai hukum tidak dapat dalam tataran individu. Oleh karena itu pembahasan akan dilanjutkan dengan perilaku-perilaku hukum para individu yang pada gilirannya akan ikut menentukan perkembangan kelompoknya, dan akhirnya juga masyarakatnya. Dengan demikian terjadi hubungan dua arah antara individu dan kebudayaannya. Suatu diskusi ilmilah mengenai konsep kebudayaan baru-baru ini mengemukakan adanya pergeseran dari kebudayaan sebagai sistem yang membentuk kelakuan dan pikiran manusia, menjadi kebudayaan sebagai sistem yang turut dibentuk oleh kelakukan dan pikiran manusia (Wacana Antropologi, 1998: 13).


Pluralisme Hukum Baru

Pemikiran pluralisme hukum terakhir, menunjukkan adanya perkembangan baru, yaitu memberi perhatian kepada terjadinya saling ketergantungan atau saling pengaruh (interdependensi, interfaces) antara berbagai system hukum. Interdependensi yang dimaksud terutama adalah antara hukum internasional, nasional, dan hukum local. Kajian-kajian yang berkembang dalam antropologi hukum baru mulai melihat bagaimanakah kebijakan dan kesepakatan-kesepakatan internasional memberi pengaruh atau bersinggungan dengan system hukum dan kebijakan di tingkat nasional, dan selanjutnya memberi imbas kepada system hukum dan kebijakan di tingkat local.

Karena kondisi interdependensi antara berbagai system hukum dari level-level yang berbeda itu, timbullan kesadaran bahwa konsep pluralisme hukum kehilangan presisi dalam memberikan karakter yang sistemik. Karena sulitnya merumuskan definisi pluralisme hukum yang sesuai dengan kondisi saat ini, tidak mengherankan jika kemudian beberapa ahli mengatakan bahwa pluralisme hukum itu bukan teori, dan hanya merupakan sensitizing concept (K dan F Benda-Beckmann, 2002). Sebelum meneruskan perbincangan ini, saya akan mengingatkan kembali mengenai konsepsi hukum yang banyak disepakati di kalangan antropolog hukum, yaitu hukum adalah proposisi yang mengandung konsepsi normative dan konsepsi kognitif (F.Benda-Beckmann, 1986).

Dua belas tahun kemudian, konsepsi ini digunakan kembali untuk menguraikan kerumitan dalam menjelaskan pluralisme hukum. Hukum dipandang terdiri atas komponen-komponen, bagian-bagian atau cluster (K.Benda-Beckmann, 2002). Hendaknya melihat bahwa cluster, komponen atau bagian-bagian dari hukum inilah yang saling berpengaruh, dan berinteraksi membentuk konfigurasi pluralisme hukum. Selanjutnya saya akan kembali pada kerumitan pembahasan mengenai pluralisme hukum dengan mengacu pada uraian yang dikemukakan oleh Keebet von Benda-Beckmann (2002). Kerumitan itu disebabkan oleh fakta mengenai banyaknya konstelasi plralisme hukum yang dicirikan oleh besarnya keragaman dalam karakter sistemik masing-masing cluster. Seperti yang dikatakan oleh Keebet “In fact, many constellation sof legal pluralism are characterized by great diversity in the systemic character of each of its components” (K. Benda-Beckmann, 2002: 1) Konteks hukumnya mungkin jelas (hukum negara atau hukum adat), tetapi keberadaan system hukum secara bersama-sama itu menunjukkan adanya saling difusi, kompetisi, dan tentu saja perubahan sepanjang waktu.

Saling difusi, dan kompetisi, dan perubahan sebagai konsekuensinya ini sangatlah bervariasi, tergantung pada konteks geografi dan ruang lingkup substansi hukum apa. Mereka beragam dalam hal institusi dan jenis-jenis aktor yang terlibat, dan mereka berbeda dalam kekuatannya dalam saling pengaruh itu. Cluster atau bagian-bagian dari system-sistem hukum itu saling berkaitan, menjadi saling bersentuhan, lebur, memberi respons satu sama lain, dan berkombinasi sepanjang waktu.

Apa akibatnya ? Sebelumnya, orang dapat dengan jelas mendefinisikan hukum (yang terdiri dari komponen atau cluster), sebagai hukum adat, hukum agama, atau hukum negara. Pada tahun 1950 –an atau 1960-an, menurut Keebet, banyak usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan local juga dapat dipandang sebagai hukum. Meskipun dasar legitimasinya berbeda dari hukum negara, tetapi tidak ada perbedaan yang mendasar antara hukum negara dan hukm rakyat. Pada tahun 1978 Holleman mengatakan bahwa di wilayah urban di negara-negara berkembang, berkembang bentuk-bentuk hukum baru yang tidak dapat diberi label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum agama, sehingga disebut sebagai hybrid law, dan banyak pengarang lain menyebutnya unnamed law.

Dengan demikian argumen yang mengatakan, bahwa lapangan pluralisme hukum terdiri dari system-sistem hukum yang dapat dibedakan batasnya, tidak laku lagi. Terlalu banyak fragmentasi, overlap dan ketidakjelasan. Batas antara hukum yang satu dan yang lain menjadi kabur, dan hal ini merupakan proses yang dinamis (K.Benda-Beckmann, 2002)


Catatan Penting Dalam Perkembangan Metodologi Terakhir

Berikut ini akan disampaikan catatan penting yang harus diberikan sehubungan dengan perkembangan terakhir pemikiran pluralisme hukum. Sangatlah signifikan untuk menunjukkan hubungan antara peristiwa pada skala yang lebih luas (makro) dengan peristiwa pada tingkat lokal (mikro), hubungan antara negara dengan individu seperti yang dikemukakan oleh Sally Falk Moore .”… links local and large-scale matters, the individual and the state, hints at the wide networks and persistent advantage of an elite, and the importance of the division of knowledge (Moore, 1994: 370). Dalam hal ini adalah, bagaimanakah peristiwa sosial, politik dan hukum pada tingkat makro (nasional), termasuk yang dituangkan melalui kebijakan negara, berdampak pada masyarakat lokal
Berbicara mengenai hubungan antara peristiwa pada skala luas (nasional) dengan peristiwa pada tingkat mikro (lokal), adalah berkaitan dengan keberadaan suatu masyarakat yang dipandang tersusun atas berbagai semi-autonomous social field (SASF) . Bagaimanakah aturan-aturan atau kebijakan yang berasal dari negara (khususnya dalam bidang pengaturan masalah sumberdaya ) berdampak pada SASF-SASF masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini dapat dijelaskan bagaimanakah individu menanggapi peristiwa hukum pada tingkat nasional, internasional, dan berdasarkan pengalamannya atau apa yang diketahuinya mengenai bidang hukum pada tingkat yang makro itu, apakah yang ia lakukan, ketika ia sendiri berhadapan dengan masalah hukum.

Di samping itu, peristiwa tertentu yang terjadi pada waktu tertentu dapat dihubungkan dengan peristiwa lain yang terjadi pada waktu yang lain, dan dapat dipandang sebagai suatu rangkaian (Moore, 1994: 364)

It has been reliably reported recently that history and ethnography have often been seen bedded together in the same text. That coupling and complementary of two distinct forms of knowledge has enlivened and enriched both (Moore, 1994: 326)

Moore menjelaskan perlunya memberi perhatian kepada proses sejarah yang muncul beberapa dekade yang terkait dengan penelitian arsip. Penelitian lapangan juga merupakan pengalaman sejarah masa kini, sejarah yang sedang dalam proses pembuatan. Dalam hal ini hendaknya dijelaskan mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan konflik mengenai sumberdaya yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, misalnya, yang terekam dalam arsip, khususnya vonis-vonis pengadilan, kemudian menghubungkannnya dengan kasus-kasus konflik yang terjadi pada masa sekarang. Dari rangkaian kasus-kasus tersebut, dapat dilihat bagaimana perkembangan kedudukan hukum yang mengatur mengenai pengelolaan sumberdaya tersebut.

Dalam rangka mengkaji rangkaian peristiwa berdasarkan hubungan makro (negara) dan mikro (individu) dan hubungan antar waktu di atas, sengketa atau konflik dipandang sebagai kejadian yang biasa dalam kehidupan sosial sehari-hari, bukan sebagai suatu penyimpangan, kebetulan, atau kondisi yang tidak normal (van Velzen, 1967: 129-149). Oleh karena itu untuk dapat menjelaskannya harus dilakukan dengan cara mengungkapkan konteks dari proses-proses sosial yang diperluas (extended social processes, extended case method) di seputar terjadinya suatu sengketa. Hal tersebut membutuhkan deskripsi mengenai konteks sosial yang total (Comaroff dan Roberts, 1981: 13-14, van Velzen, 1967: 129-149).


Kesimpulan

Bila mengamati perkembangan pemikiran terakhir wacana pluralisme hukum, maka hendaknya kita lebih berhati-hati untuk menarik garis secara amat tegas antara hukum negara dan hukum yang tidak berasal dari negara. Dalam kenyataan beroperasinya berbagai system hukum secara bersama-sama, sistem-sistem hukum itu saling berkompetisi, dan sekaligus saling menyesuaikan dan mengadopsi. Hal itu sangat kelihatan dari bagaimana hukum internasional bahkan memberi dampak sampai kepada masyarakat local. Bagaimana hukum internasional memberi dampak kepada hukum nasional, atau hukum nasional memberi dampak kepada hukum lokal. Keterkaitan antara system hukum pada tingakt makro dan mikro (internasional, nasional dan local) harus dapat ditelusuri. Demikian pula hubungan antara system hukum yang pernah berlaku pada kurun waktu tertentu dan memberi dampak kepada apa yang berlangsung pada saat ini, juga harus dapat dilihat sebagai suatu rangkaian.


DAFTAR PUSTAKA


Benda-Beckmann, Franz von,
1985 Some Comparative Generalizations about the Differential Use of State and Folk Institutions of Dispute Settlement dalam `Antony Allot dan Gordon Woodman (eds), People’s Law and State Law. The Bellagio Papers. Dordrecht: Foris Publications, hal 187 – 206.
-------
1986 Anthropology and Comparative Law, dalam K.Benda-Beckmann dan F.Strijbosch (ed), Anthropology of Law in the Netherlands Dordrecht: Foris Publications. hal 90-109.
------
1990 Changing Legal Pluralism in Indonesia, VI th International Symposium Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Ottawa.

Benda-Beckmann, Keebet von
1986 The Broken Stairways to Consensus, Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.
------
1986 Evidence and Legal Reasoning in Minangkabau, dalam K.Benda - Beckmann dan F.Strijbosch, Anthropology of Law in the Netherlands. Dordrecht: Foris Publications, hal 132-174.
-----
2002 The Context of Law, xiii th international Congress of the Commission on Folk Law and Legal Pluralism, :Legal Pluralism and Unofficial Law inSocial, Economic and Political development, Chiang Mai, April, 2002

Cecilio, Justice & Gaudioso C Sosmena & Judge Alfredo F Tadiar
1988 Asia-Pacific Countries on Alternative Processing of Disputes dalam Cecilio et.al (eds), Transcultural Mediation in the Asia-Pacific. Manila: Asia-Pacific Organization for Mediation, hal 1-16.

Comaroff, John L dan Simon Roberts
1981 Introduction dalam Rules and Processes. The Cultural Logic of Dispute in an African Context. Chicago: The University of Chicago (cetakan pertama tahun 1945), hal 3- 27. Griffiths, John
------
1986 What is legal pluralism, dalam journal of Legal Pluralism and Unofficial law, number 24/2986.

Hooker, B
1975 Legal Pluralism: Introduction to Colonial and Neo-Colonial Law. London: Oxford University Press. Kleinhans, Martha-Marie dan Roderick A Macdonald
------
1997 What is a Critical Legal Pluralism, Canadian Journal of Law and Society, vol 12 no.2/ 1997, hal 25-46.

Ietswaart, H.P
1981 Labour Relations Litigations: Chille 1970-1972, Law and Society vol. 16/4.
------
1988 Informal Methods of Dispute Settlement, dalam Cecilio PE (Ed), Trans- Cultural Mediation in the Asia Pacific. Manila: Asia-Pacific Organization for Mediation (APOM), hal 139 –158.

Kurczewski, J & Fieske Kazimiers
1988 Some Problems in the Legal Regulation of the Activities of Economics Institutions, dalam bundel kuliah Vergelijkende Sociologische van het Recht, Landvouw University of Wageningen.

Macaulay.S
1963 Non-Contractual Relations in Business: Preliminary Study, American Sociological Review, vol 28: hal 55-65.

Merry, Sally Engle
1988 Legal Pluralism, dalam Law and Society review. Vol 22/ 1988, hal 869-896.

Moore, Sally Falk,
1983 Law and Social Change: the Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study, dalam Sally Falk Moore, Law as Process. An Anthropological Approach. London: Routledge & Kegan Paul, hal 54- 81.
-----
1994 The Ethnography of the Present and the Analysis of Process, dalam Robert Borofsky, Assessing cultural anthropology, section five, cultural in motion . McGrw Hill-Inc, hal 362- 376.

Nader, Laura dan Harry Todd.
1978 Introduction dalam The Disputing Process: Law in ten Societies. New York: Columbia University Press, hal 1- 40.

Pospisil, Leopold
1971 Anthropology of Law: A Comparative Theory. New York: Harper & Row.


Radcliffe - Brown,AR
1986 Structure and Function in Primitive Society.London: Routledge & Kegan Paul (cetakan pertama tahun 1952).

Rorhl, Vivian, J
1992 Possible Uses of Mediation in a Situation of Cultural Pluralism, makalah dalam Congress on Folk Law and Legal Pluralism, Wellington, New Zealand.

Slaats, Herman dan Karen Portier
1992 Traditional Decision-making and Law. Institutions and Processes in an Indonesian Context. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.

Starr, June dan Jane F Collier
1989 Introduction: Dialogues in Legal Anthropology, dalam June Starr dan Jane F Collier (eds), History and Power in the Study of Law. Ithaca: Cornell University Press, hal 1 – 28.

Tamanaha, Brian
1993 The Folly of the Concept of Legal Pluralism, makalah dalam the IX th International Congress of Commission on Folk Law and Legal Pluralism, Law Faculty, Victoria University of Wellington, New Zealand, hal 5 – 48.

Tanner, Nancy
1969 Disputing and Dispute Settlement among the Minangkabau of Indonesia, in Indonesia, vol.9 Ithaca, hal 21- 67.

Velzen, J van,
1967 The Extended Case Method and Situational Analysis dalam AL Epstein, The Craft of Social Anthropology, London: Tavistock.

Wallace, Ruth dan Alison Wolf
1980 Contemporary Sociological Theory. USA: Prentice-Hall,Inc.

Woodman, Gordon
1992 Historical Development. Introduction to Contemporary Legal Pluralism in a Worldwide Perspectives, Historical Development. Salah satu materi dalam a Post-Congress “Folk Law and State Law Today and Tomorrow, Faculty of Law, Victoria University, Wellington.

Buletin
Wacana Antropologi, no 1, tahun II, Juli-Agustus 1998





Tidak ada komentar: